Kamis, 03 November 2011

Isteriku Sayang, Aku harap Engkau memilih Satu di antara Dua

Khalifah yang satu ini adalah pemimpin yang kita mimpikan di setiap malam. Sudah lama rakyat Indonesia lelah menanti pemimpin seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz . Betapa taqwa dan zuhud menjadi perhiasan baginya. Sedekah dan sifat darmawan adalah pekerjaannya. Terbetiklah sebuah kisah saat ia telah diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin, Umar bin Abdul Aziz langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah Sang isteri tercinta.
Umar berkata kepadanya, “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antara dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?”
Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai dengan Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
Kata Fatimah, “Demi Allah, Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.”
Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas Negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.

Keutamaan Istri yang Sholehah

Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417)
Berkata Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah: “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan harta selama mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi kabar gembira kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya) karena ia akan selalu bersamamu menemanimu.
“Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat bermusyawarah dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu. Engkau dapat meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia mentaati perintahmu dan bila engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan memelihara/mengasuh anak-anakmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda:
“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban)
Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856)
Cukuplah kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah dengan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk mengutamakannya dari yang selainnya.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.”

Nasihat Wanita yang Aduannya Di Dengar oleh Allah

Wanita Sahabiyah yang fasih dan pandai ini pernah menghentikan perjalanan Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. Wanita ini bernama Khaulah binti Tsa’labah, ia berkata, “Wahai Umar aku telah mengenalmu sejak namamu dahulu masih Umair (Umar kecil) tatkala engkau berada di pasar Ukazh engkau mengembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu, ketahuilah barangsiapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya dan barangsiapa yang takut mati maka dia kan takut kehilangan dan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Adzab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Amirul Mukminin berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.
Akan tetapi Jarud Al Abdi yang menyertai Umar bin Khaththab tidak tahan mengatakan kepada Khaulah, “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul Mukminin wahai wanita.!” Umar kemudian menegurnya, “Biarkan dia…tahukah kamu siapakah dia? Beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan aduannya dari langit yang ketujuh, maka Umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya. “
Dalam riwayat lain Umar bin Khaththab berkata, “Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mengerjakan shalat kemudian kembali mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.”

Malu adalah Iman

Lunturnya sifat malu dalam masyarakat merupakan salah satu parameter degradasi iman. Sebab, rasa malu akan segera menyingkir dengan sendirinya tatkala iman sudah terkikis. Sebagaimana sabda Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam, yang artinya: “Malu dan iman saling berpasangan. Bila salah satunya hilang, maka yang lain turut hilang.” (HR Hakim dalam kitab Al-Mustadrak)
Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam pernah melewati seorang laki-laki Anshar yang mencela sifat malu saudaranya. Maka Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Tinggalkan dia. Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.”
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasululloh Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Iman itu ada tujuh puluh bagian. Yang paling tinggi adalah kalimat ‘la ilaha illallah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Dan malu adalah bagian dari iman.” (HR Bukhari)

Menunggu Jawaban Camer…( Lamaranmu Kutolak!! )

Mereka, lelaki dan perempuan yang begitu berkomitmen dengan agamanya.
Melalui ta’aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk
melanjutkannya menuju khitbah.
Sang lelaki, sendiri, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan.
Dan ini, tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru
pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang
sekarang amatlah berbeda.
Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka
menggenapkan agamanya.
Maka, di suatu pagi, di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang
lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya, untuk ‘merebut’
sang perempuan muda, dari sisinya.
“Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?” tanya sang setengah baya.
“Iya, Pak,” jawab sang muda.
“Engkau telah mengenalnya dalam-dalam? ” tanya sang setengah baya
sambil menunjuk si perempuan.
“Ya Pak, sangat mengenalnya, ” jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
“Lamaranmu kutolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak
bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model
seperti itu!” balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, “Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal
sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu.”
“Lamaranmu kutolak. Itu serasa ‘membeli kucing dalam karung’ kan, aku
takmau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya.
Jangan-jangan kau nggak tahu aku ini siapa?” balas sang setengah baya,
keras.
Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang
lelaki muda. Bisiknya, “Ayah, dia dulu aktivis lho.”
“Kamu dulu aktivis ya?” tanya sang setengah baya.
“Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi anti Orba di
Kampus,” jawab sang muda, percaya diri.
“Lamaranmu kutolak. Nanti kalau kamu lagi kecewa dan marah sama
istrimu, kamu bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo
rumahku ini kan?”
“Anu Pak, nggak kok. Wong dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak
yang nggak datang kalau saya suruh berangkat.”
“Lamaranmu kutolak. Lha wong kamu ngatur temanmu saja nggak bisa, kok
mau ngatur keluargamu?”
Sang perempuan membisik lagi, membantu, “Ayah, dia pinter lho.”
“Kamu lulusan mana?”
“Saya lulusan Teknik Elektro UGM Pak. UGM itu salah satu kampus
terbaik di Indonesia lho Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu sedang menghina saya yang cuma lulusan STM
ini tho? Menganggap saya bodoh kan?”
“Enggak kok Pak. Wong saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya
saja tujuh tahun, IPnya juga cuma dua koma Pak.”
“Lha lamaranmu ya kutolak. Kamu saja bego gitu gimana bisa mendidik
anak-anakmu kelak?”
Bisikan itu datang lagi, “Ayah dia sudah bekerja lho.”
“Jadi kamu sudah bekerja?”
“Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera
jualan produk saya Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu
nggak bakal sempat memperhatikan keluargamu.”
“Anu kok Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Wong produknya saja nggak
terlalu laku.”
“Lamaranmu tetap kutolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu,
kalau kerja saja nggak becus begitu?”
Bisikan kembali, “Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya.”
“Rencananya maharmu apa?”
“Seperangkat alat shalat Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kami sudah punya banyak. Maaf.”
“Tapi saya siapkan juga emas satu kilogram dan uang limapuluh juta Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kau pikir aku itu matre, dan menukar anakku dengan
uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku.”
Bisikan, “Dia jago IT lho Pak”
“Kamu bisa apa itu, internet?”
“Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak
saya nge-net.”
“Lamaranmu kutolak. Nanti kamu cuma nge-net thok. Menghabiskan
anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata.”
“Tapi saya ngenet cuma ngecek imel saja kok Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter,
Youtube? Aku nggak mau punya mantu gaptek gitu.”
Bisikan, “Tapi Ayah…”
“Kamu kesini tadi naik apa?”
“Mobil Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu mau pamer tho kalau kamu kaya. Itu namanya
Riya’. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik.”
“Anu saya cuma mbonceng mobilnya teman kok Pak. Saya nggak bisa nyetir”
“Lamaranmu kutolak. Lha nanti kamu minta diboncengin istrimu juga? Ini
namanya payah. Memangnya anakku supir?”
Bisikan, “Ayahh..”
“Kamu merasa ganteng ya?”
“Nggak Pak. Biasa saja kok”
“Lamaranmu kutolak. Mbok kamu ngaca dulu sebelum melamar anakku yang
cantik ini.”
“Tapi pak, di kampung, sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak.”
“Lamaranmu kutolak. Kamu berpotensi playboy. Nanti kamu bakal selingkuh!”
Sang perempuan kini berkaca-kaca, “Ayah, tak bisakah engkau tanyakan
soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?”
Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang
muda yang sudah menyerah pasrah.
“Nak, apa adakah yang engkau hapal dari Al Qur’an dan Hadits?”
Si pemuda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga.
Pun pada pokok soal ini ia menyerah, jawabnya, “Pak, dari tiga puluh
juz saya cuma hapal juz ke tiga puluh, itupun yang pendek-pendek saja.
Hadits-pun cuma dari Arba’in yang terpendek pula.”
Sang setengah baya tersenyum, “Lamaranmu kuterima anak muda. Itu
cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja
pun, aku masih tertatih.”
Mata sang muda ikut berkaca-kaca.
Ini harus happy ending, bukan?