Senin, 07 April 2014

SOSIOLOGI SASTRA : PENDEKATAN MEKANISME UNIVERSAL DARI PROFESIONALISME KE POSMODERNISME




          Pendekatan marxis memang merupakan pendekatan yang dominan dalam sosiologi sastra baik karena alasan teoretik maupun ideologis. Meskipun demikian, hal itu tidak dengan sendirinya berarti bahwa tidak terdapat pendekatan lain dalam bidang tersebut. Sejauh yang dapat diketahui, pendekatan-pendekatanlain itu antara lain pendekatan fungsionalis dan fenomenologis, dan pendekatan dialogis dan post-modern.
A.  Pendekatan Fungsionalis
Persoalan dasar yang dibahas dalam pendekatan fungsionalis adalah persoalan apa yang membuat masyarakat itu bersatu, bagaimana dasar atau landasan keteraturan sosial itu dipertahankan, dan bagaimana tindakan-tindakan individu itu menyumbang pada masyarakat.
          Orientasi pada aspek integratif masyarakat diatas mempersulit pendekatan fungsional dalam memahami dan menempatkan sastra dalam sistem sosial. Parsons sendiri (1952:384) mengakui bahwa simbolisme ekspresif, termasuk di dalamnya kesusastraan, merupakan salah satu bagian yang paling tidak berkembang dalam kerangka teori fungsionalnya. Itulah sebabnya, ia tidak dapat memberikan analisis mengenai tempatnya dalam hubungan dengan sistem sosial sebagaimana yang telah dapat diberikannya dalam hal sistem kepercayaan.
          Dalam tulisannya yang berjudul “Art as Institution” Albecht (1970) mengemukakan beberapa pandangan fungsional mengenai seni beserta problem yang menyertainya. Persoalan pertama yang dikemukakannya adalah persoalan klasifikasi seni sebagai lembaga sosial. Menurutnya, dalam hal ini pendekatan fungsional pun menghadapi kesulitan. Di satu pihak ada yang menganggapnya sebagai lembaga sekunder dilihat dari kepentingan relatifnya dalam mempertahankan masyarakat, tetapi di lain fihak ada yang menganggapnya sebagai lembaga primer dengan dasar fungsinya sebagai pembawa nilai-nilai kultural. Albecht sendiri cenderung menempatkan seni sebagai lembaga sosial relatif otonom dalam hubungannya dengan sistem sosial dan integritas masyarakat.
          Persoalan kedua adalah struktur institusional seni. Dalam hal struktur ini ada kecenderungan untuk menyamakannya dengan lembaga-lembaga sosial lain, yaitu sebagai sitem interaksi sosial misalnya, interaksi antara pengarang, kritikus, dan audiens. Albrect kemudian membagi sistem – sistem pembentuk struktur institusional “campuran” itu sebagai berikut :
1.     Sistem-sistem teknis, termasuk material-material mentah, alat-alat khusus, teknik-teknik, keterampilan-keterampilan, yang diwarisi maupun yang ditemukan.
2.    Bentuk-bentuk seni tradisional seperti soneta dan novel. Bentuk ini selalu mengasumsi adanya isi dan makna-makna yang berubah sepanjang waktu.
3.    Sistem-sistem pemberian dan hadiah, termasuk agen-agen dan patron-patron, museum-museum dengan personil-personil dan aktivitas-aktivitasnya yang khas, distributor-distributor, penerbit-penerbit, dealer-dealer, dengan personil-personil, peralatan dan organisasinya yang diatur oleh nilai-nilai dan norma-norma tertentu.
4.    Pengulas-pengulas dan kritikus-kritikus seni dengan saluran-saluran, bentuk-bentuk dan asosiasi-asosiasi profesionalnya yang tipikal.
5.    Seniman-seniman, sosialisasi danpelatihan mereka, peranan-peranan mereka, asosiasi karir, dan mode-mode kreativitasnya.
6.    Publik-publik dan audien-audien dari mereka yang “hidup” dalam teater, gedung-gedung konser dan museum-museum, sampai pada jutaan pemirsa televisi atau publik-publik “tak dikenal” yang membaca atau mendengarkan secara pribadi.
7.    Prinsip-prinsip penilaiannn formal, dasar-dasar penilaian estetik, dan ekstra-estetik bagi seniman-seniman., kritikus-kritikus dan audiens-audiens.
8.    Nilai-nilai kultural yang luas yang menompang seni dalam masyarakat, seperti asumsi mengenai fungsi keberadaban seni, kemampuannya untuk memperhalus emosi, mengatasi prasangka, atau memproduk solidaritas sosial.

Menurut Albrecht, ada banyak pandangan mengenai fungsi institusional seni, diantaranya sebagai berikut :
1.   Anggapan bahwa seni berfungsi untuk memenuhi kepuasan untuk dirinya sendiri, terlepas dari perjuangan hidup yang bersifat jasmaniah.
2.  Pandangan lain berkisar pada dikotomi kerja-waktu senggang, dimana seni berfungsi sebagai aktivitas waktu senggang, sebagai rekreasi, dalam pertentangannya dengam kerja.
3.  Ada pula menganggapnya terhadap aktivitas-aktivitas yang berfungsi mengimbangi keberpihakan terhadap aktivitas-aktifitas instrumental.
4.  Disamping mengutarakan fungsi penyeimbangan itu, pandangan yang kemudian tersebut juga menggiring kearah pandangan bahwa seni merupakan interes ekspresif yang mereduksi ketegangan-ketengangan yang diciptakan oleh peranan-peranan instrumental.
5.  Orang lain yang menganggap seni tidak hanya mereduksi konflik-konflik sosial, melainkan juga mencegahnya.
6.  Seni dapat dimanfaatkan sebagai propaganda politik, ikon religius, alat perdagangan, pendidikan dalam psikologi atau sosiolohi.
Kelompok tari balet adalah kelompok yang menuntut persaingan yang ketat antar anggotanya, tetapi sekaligus menuntut kerja sama yang erat antar anggotanya itu,. Yang kemudian menjadi persoalam adalah bagaimana para penari itu berinteraksi satu sama lain sehingga harmoni kelompok, kerja sama dan sekaligus persaingan dapat dipertahankan. Menghadapi persoalan tersebut Forsyth dan Kolenda mencoba melihatnya sebagai hubungan antar berbagai subsistem atau fase-fase dari suatu sistem sosial.
Fase pertama adalah fase latency yang terjadi ketika mereka yang membentuk kelompok itu tersebar dan tidak berinteraksi. Fase kedua adalah fase instrumental-adaptif yang merunjuk kedapa persaingan yang keras bersama-sama dengan kordinasi yang rumit dari bagian-bagian penari. Dalam hal ini guru sebagai “diktator”. Kata-katanya adalah hukum. Meskipun demikian, standar guru dalam menilai penari-penarinya terbagi pada para penarinya sendiri. Fase ketiga adalah fase pemuasan tujuan yang mengacu kepada penghargaan yang diterima oleh penari dalam bentuk jenjang pernyataan kecocokan, dan kepuasan kreatif. Fase keempat adalah fase integratif,. Fase ini mengacu kepada situasi-situasi dalam kehidupan sosial kelompok yang didalamnya sentimen-sentimen negatif dan positif aktor-aktor ke arah sesamanya atau perkumpulan secara keseluruhan berkembang.
B.  Pendekatan Fenomenologis
Berbeda dari berbagai ahli sosiologi seni/sastra lainnya, Janet Wolff dalam bukunya yang berjudul Hermeneutic Philosophy and The Sociology of Art (1975).ingin membangun sosiologi seni pada level makna.
Untuk dapat melakukan hal itu pendekatan yang diambil adalah pendekatan verstehen meskipun didalamnya tidak tertutup kemungkinan untuk menerima pendekatan yang bersifat behavioristik dan positivistik. Dengan pendekatan yang demikian setidaknya ada dua masalah yang harus ditangani yaitu :
1.     Masalah yang berkaitan dengan validitas fundamental dari pemahaman interpersonal, pemahaman sosiolog atau pokok masalahnya
2.    Masalah yang berkaitan dengan objek pemahaman yang meliputi pernyataan mengenai bagaimana seseorang dapat melampaui batas aktor sosial individual untuk sampai kepada kelompok-kelompok sosial dan produk-produk kultural.
Pendekatan sosio-linguistik penting karena sudah banyak studi yang berhasil membuktikan bahwa bahasa mempunyai peranan besar dalam penstrukturan pikiran dan pengalaman. Kuatnya peranan bahasa itu dapat dijelaskan secara fenomenologis. Menurut pendekatan ini, realitas subjektif maupun objektif dibangun secara sosial.
Dalam konsep pandangan dunia diandaikan bahwa masyarakat merupakan kesatuan yang padu dan yang hidup dalam satu pandangan dunia yang sama. Meskipun demikian pandangan dunia itu diproduk oleh satu kelompok sosial tertentu.
Dalam teori Parsons konsep kesadaran, ideologi total, pandangan dunia termasuk dalam sistem-sistem kultural. Sistem kultural dibangun dari organisasi nilai-nilai, norma-norma dan simbol-simbol yang memadu pilihan yang dibuat oleh para aktor dan yang membatasi tipe-tipe interaksi yang terjadi diantara mereka. Untuk itu sebuah sistem kultural harus mempunyai konsistensi dalam derajat tertentu.
Menurut Wolff, kelemahan teori Parsons diatas dalam rangka sosiologi seni fenomenologis adalah kurangnya perhatian terhadap makna. Yang digarap bukan makna eksistensial individu dalam masyarakat, melainkan abstraksi-abstraksi formal yang digeneralisasikan, analisis verstehen Weber.

C.  Teori Dialogis M.M. Bakhtin
Diabnding dengan dua teori sebelumnya, teori dialogis Bakhtin ini sesungguhnya dapat dimasukkna ke dalam tradisi marxis sebab memang berangkat darinya. Meskipun demikian, dari usahanya memecahkan persoalan=persoalan yang ditinggalkan oleh teori-teori sosiologi sastra yang marxis, teori Bakhtin berangsur-angsur bergerak kearah teori post-modernis yang akan dibicarakan dalam fasal berikutnya yaitu fasal D.
1.  Bakhtin dan Tradisi Marxis
Dalam bukunya yang berjudul The Formal Mathod in Literary Scholarship, Bakhtin mengemukakan secara eksplisit keberangkatannya dari tradisi marxis. Sebagaimana teori-teori dari tradisi marxis, Bakhtin menganggap studi sastra sebagai studi superstruktur, studi ideologis yang dipertentangkan dengan studi struktur dasar, studi sistem produksi ekonomik yang bersifat material.
a.  Materialitas Dunia Ideologis
Menurut Bakhtin semua produk ideologis merupakan benda-benda material bagian dari realitas praktis yang mengitari manusia. Hubungan senua makna ideologis itu dengan materi yang konkret dan organisasinya lebihbersifat organik, esensial, daripada yang diduga sebelumnya. Setiap tindakan individual dalam kreasi ideologis adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses soaial keseluruhan yang memberinya makna. Kreasi ideologis tidak berada dalam diri kita, melainkan antara kita.
b.  Problem Studi Ideologis
Bakhtin mengatakan bahwa prinsip pertama yang darinya studi sosiologis terhadap fenomena ideologis bekerja adalah prinsip kodrat material dan sepenuhnya objektif dari kreasi ideologis secara keseluruhan. Dengan prinsip ini studi sosiologi ideologi harus dapat menjawab persoalan mengenai ciri-ciri dan bentuk material dari fenomena ideologis sebagai materi yang bermakna dan sekaligus persoalan ciri-ciri dan bentuk interaksi sosial yang dengannya makna itu direalisasikan.
2.  Teori Dialogis
Karena terlalu terikat pada tradisi marxis, teori Bakhtin pada tahap ini masih cenderung totaliter dan hirarkis, menempatkan lingkungan sosio-ekonomik sebagai pusat yang menentukan dan menstrukturkan lingkungan-lingkungan kesusastraan dan akhirnya karya sastra itu sendiri. Teori dialogis Bakhtin merupakan sebuah bangunan konseptual yang koheren, merentang dari filsafat antopoligis, epistemologi humaniora, teori genre sastra, hingga karya sastra.
a.  Epistemologi
Menurut Bakhtin ilmu alam dan ilmu humamiora merupakan dua ilmu yang tidak sama.dan mengatakan bahwa spesifisitas ilmu humainiora adalah orientasinya pada pikiran-pikiran, makna-makna, signifikan-signifikan yang datang dari orang laindan disadari, dan dapat menjdi memasuki hanya melalui teks.

b.  Teori Tuturan
Menurut Bakhtin perbedaan antara proposisi (kalimat) sesuai unit bahasa dengan tuturan terletak pada kenyataan bahwa kedua diproduksi dalam suatu konteks yang khusus yang bersifat sosial, sedangkan yang pertama tidak membutuhkannya.
          Adapun situasi ini bagi Bakhtin meliputi sejumlah interaksi antara pembicara dengan pendengar. Setidaknya ada tiga aspek dari interaksi itu yaitu :
·         Nilai hirarkis karakter atau pristiwa yang membentuk tuturan.
·         Tingkat kedekatannya dengan pengarang
·         Saling hubungan antara penerima dengan pengarang di satu fihak dan dengan karakter dilain fihak.
c.   Intertekstualitas
Menurut Bakhtin tidak ada tuturan tanpa hubungan dengan tuturan-tuturan lain. Dua karya verbal tuturan masuk kedalam jenis hubungan semantik tertentu yang disebut hubungan dialogis. Dan menyebutkan suatu tuturan monologis apabila di dalamnya tidak ditemukan sama sekali suara lain selain atau disamping suara pengarang.
Dalam hal wacana dialogis itu Bakhtin juga membedakannya menjadi wacana aktif dan pasif, wacana sintagmatik dan paradigmatik serta wacana yang tersurat dan tersirat. Wacana pasif menggunakan wacana yang terdahulu untuk ekspresinya seperti dalam parodi. Wacana aktif menempatkan wacana terdahulu tetap di luar dirinya meskipun berhubungan dengannya. Wacana paradigmatik terjadi apabila wacana terlebih dahulu berada dalam hubungan substitutif dengan wacana masa kini. Wacana sintagmatif terjadi apabila wacana terdahulu merupakan wacana potensial ndi masa depan yang diantisipasi oleh dan terkandung dalam wacana masa kini. Wacana tersurat adalah wacana dengan kehadiran penuh atau dialog eksplisit, sedangkan wacana tersirat adalah wacana yang tidak terwujud secara material melainkan hanya tersedia dalam kenangan kolektif kelompok sosial tertentu.

d.  Sejarah Sastra
Konsep popsisi antara wacana pictural dengan linear yang dikemukakan diatas pada gilirannya menjadi dasar bagi teori Bakhtin mengenai tahap-tahap perkembangan sejarah sastra. Dalam pendekatannya Bakhtin menggunakan sejarah sistematik yaitu tidak menganalisis peristiwa-peristiwa melainkan menyatakan eksistensi suatu tatanan yang dapat berubah yang dapat digunakan meramalkan masa depan. Sejarah itu dilihat dalam dua kerangka dasar yaitu oposisi antara linier dengan pictural. Ciri utama dari tradisi adalah monologi yang didalamnya heterologi tetep berada diluar novel.
e.  Genre
Sejajar dengan kesukaannya pada ketakterpisahannya antara bentuk dengan isi dan pada dominasi yang sosial atas yang indivisual, Bakhtin  menyukai konsep genre. Menurut Bakhti genre merupakan satuan sosial-historis dan sekaligus formal.bakhtin mengatakan bahwa genre berasal dari orientasi ganda ke arah objek dan ke arah interlokutor. Pendekatan genre terhadap realitas dibagi menjadi dua elemen, yaitu ruang dan waktu. Ciri-ciri ruang dan waktu dalam setiap genre disebut chronotope.  Di pihak lain genre mempunyai suatu dimensi historis, tidak hanya merupakan interseksi properti-properti sosial dan formal  melainkan juga suatu fragmen dari kenangan kolektif. Secara rinci ciri-ciri novel sebagai genre itu adalah :
·         Secara stilistik bersifat tiga dimensional, terikat pada kesadaran mengenai poliglot yang mengaktualisasikan diri di dalamnya
·         Mengandung transformasi radikat terhadap kordinat-kordinat temporal dari imaji literer
·         Mengandung zona konstruksi baru dari imaji literer, zona kontak ,maksimum dengan masa kini dengan keterbukaannya.

f.   Antropologi Filosofis
Seluruh untaian menunjukkan prinsip dialogis yang menjadi dasar teori Bakhtin baik mengenai tuturan ataupun wacana pada umumnya. Dalam usahanya membangun teori sastra yang terpadu Bakhtin dipaksa untuk merumuskan konsep mengenai eksistensi manusia di mana orang lain memainkan peranan penting.
D.  Menuju Sosiologi Sastra Post-Modern
Teori dialogis Bakhtin merupakan teori yang disusun pada tahun 1920-an . meskipun demikian teori itu sudah memperlihatkan kecenderungan kearah post-modernisme yang justru baru muncul ditahun 1950-an dan bahkan baru dikenal dan di akui pada tahun 1970-an setelah munculnya tulisan-tulisan Lyotard.
Didalam teori Bakhtin kecenderungan serupa itu terutama menonjol dalam gagasannya mengenai epistemologi humainora, wacana dialogis, dan novel polifonik. Sebagaimana telah dikemukakan objek humaniora bagi Bakhtin adalah tidak hanya objek material melainkan subjek.

1.  Lenyap/Meluasnya Studi Sastra
Menurut Easthope, paradigma studi sastra konvensional berkisar pada empat konsep sebagai berikut :
1.     Teks sastra diperlakukan sebagai sesuatu yang intransitif, suatu objek yang cukup-diri, merupakan tujuan dalam dirinya sendiri yang padanya pembaca/peneliti harus berorientasi.
2.    Atas dasar itu, karena teks sudah menjadi statis, suatu objek untuk analisis, sebuah ikon verba, seluruh kemungkinan makna harus secara aktif dipertimbangkan.
3.    Studi sastra konvensional yang dipengaruhi oleh pembacaan modernis mengadaikan dan menemukan bahwa teks mempunyai satu tema penting.
4.    Apa yang menentukan signifikansi suatu aspek dari teks yang dapat membuat pembacaan tidak bergerak kearah yang tidak terbatas.

2.  Teori-Teori Tanding
Teori strukturalisme menawarkan konsep mengenai karya sastra sebagai sistem sastra sebagai sistem sastra, terbangun dari hubungan antara penanda dengan petanda. Dengan teori ini konsep pengarang sebagai salah satu alat pembangun kesatuan sastra karena karya sastra dianggap ditentukan oelh sistem tanda, bukan oleh pengarang.

3.  Perkembangan Studi Kultural di Inggris
Sejak awal studi kultural di Inggris mengambil posisi yang bertentangan dengan studi sastra konvensional. Pada tahun 1950-an yang muncul adalah kulturalisme dari Raymond Williams. Teori ini menolak pembatasan sastra hanya pada bentuk-bentuk kultural yang tinggi. Menurutnya kebudayaan populer harus diperhitungkan dalam studi kultural karena kebudayaan pada hakikatnya merupakan cara hidup dan kebudayaan populer merupakan ekspresi kelas kerja.

4.  Menuju Sosiologi Sastra Post-Modern
Suatu totalitas bukan penstrukturan ekspresif melainkan penstrukturan yang terdesentralisasi meskipun saling tergantung satu sama lain dan masing-masing mengikuti efektivitas dan temporalitasnya sendiri.
Analisis sistem tanda diperlukan karena petanda tergantung pada penanda. Akan tetapi, analisis sistem tanda ini akan menjadi faktor malistik apabila tidak dikaitkan dengan ideologi.. definisi ideologi adalah makna yang dibentuk secara sosial. Lebih khusus lagi ideologi merupakan bentuk kekuasaan yang menokong beberapa kemungkinan sosial dengan melemahkan yang lain.

1 komentar: