Pendekatan
marxis memang merupakan pendekatan yang dominan dalam sosiologi sastra baik
karena alasan teoretik maupun ideologis. Meskipun demikian, hal itu tidak
dengan sendirinya berarti bahwa tidak terdapat pendekatan lain dalam bidang
tersebut. Sejauh yang dapat diketahui, pendekatan-pendekatanlain itu antara
lain pendekatan fungsionalis dan fenomenologis, dan pendekatan dialogis dan
post-modern.
A. Pendekatan
Fungsionalis
Persoalan
dasar yang dibahas dalam pendekatan fungsionalis adalah persoalan apa yang
membuat masyarakat itu bersatu, bagaimana dasar atau landasan keteraturan
sosial itu dipertahankan, dan bagaimana tindakan-tindakan individu itu
menyumbang pada masyarakat.
Orientasi
pada aspek integratif masyarakat diatas mempersulit pendekatan fungsional dalam
memahami dan menempatkan sastra dalam sistem sosial. Parsons sendiri (1952:384)
mengakui bahwa simbolisme ekspresif, termasuk di dalamnya kesusastraan,
merupakan salah satu bagian yang paling tidak berkembang dalam kerangka teori
fungsionalnya. Itulah sebabnya, ia tidak dapat memberikan analisis mengenai
tempatnya dalam hubungan dengan sistem sosial sebagaimana yang telah dapat
diberikannya dalam hal sistem kepercayaan.
Dalam
tulisannya yang berjudul “Art as Institution” Albecht (1970) mengemukakan
beberapa pandangan fungsional mengenai seni beserta problem yang menyertainya.
Persoalan pertama yang dikemukakannya adalah persoalan klasifikasi seni sebagai
lembaga sosial. Menurutnya, dalam hal ini pendekatan fungsional pun menghadapi
kesulitan. Di satu pihak ada yang menganggapnya sebagai lembaga sekunder
dilihat dari kepentingan relatifnya dalam mempertahankan masyarakat, tetapi di
lain fihak ada yang menganggapnya sebagai lembaga primer dengan dasar fungsinya
sebagai pembawa nilai-nilai kultural. Albecht sendiri cenderung menempatkan
seni sebagai lembaga sosial relatif otonom dalam hubungannya dengan sistem
sosial dan integritas masyarakat.
Persoalan
kedua adalah struktur institusional seni. Dalam hal struktur ini ada
kecenderungan untuk menyamakannya dengan lembaga-lembaga sosial lain, yaitu
sebagai sitem interaksi sosial misalnya, interaksi antara pengarang, kritikus,
dan audiens. Albrect kemudian membagi sistem – sistem pembentuk struktur
institusional “campuran” itu sebagai berikut :
1. Sistem-sistem
teknis, termasuk material-material mentah, alat-alat khusus, teknik-teknik,
keterampilan-keterampilan, yang diwarisi maupun yang ditemukan.
2. Bentuk-bentuk
seni tradisional seperti soneta dan novel. Bentuk ini selalu mengasumsi adanya
isi dan makna-makna yang berubah sepanjang waktu.
3. Sistem-sistem
pemberian dan hadiah, termasuk agen-agen dan patron-patron, museum-museum
dengan personil-personil dan aktivitas-aktivitasnya yang khas,
distributor-distributor, penerbit-penerbit, dealer-dealer, dengan personil-personil,
peralatan dan organisasinya yang diatur oleh nilai-nilai dan norma-norma
tertentu.
4. Pengulas-pengulas
dan kritikus-kritikus seni dengan saluran-saluran, bentuk-bentuk dan
asosiasi-asosiasi profesionalnya yang tipikal.
5. Seniman-seniman,
sosialisasi danpelatihan mereka, peranan-peranan mereka, asosiasi karir, dan
mode-mode kreativitasnya.
6. Publik-publik
dan audien-audien dari mereka yang “hidup” dalam teater, gedung-gedung konser
dan museum-museum, sampai pada jutaan pemirsa televisi atau publik-publik “tak
dikenal” yang membaca atau mendengarkan secara pribadi.
7. Prinsip-prinsip
penilaiannn formal, dasar-dasar penilaian estetik, dan ekstra-estetik bagi
seniman-seniman., kritikus-kritikus dan audiens-audiens.
8. Nilai-nilai
kultural yang luas yang menompang seni dalam masyarakat, seperti asumsi
mengenai fungsi keberadaban seni, kemampuannya untuk memperhalus emosi,
mengatasi prasangka, atau memproduk solidaritas sosial.
Menurut Albrecht, ada banyak pandangan mengenai
fungsi institusional seni, diantaranya sebagai berikut :
1.
Anggapan bahwa seni berfungsi untuk memenuhi
kepuasan untuk dirinya sendiri, terlepas dari perjuangan hidup yang bersifat
jasmaniah.
2. Pandangan
lain berkisar pada dikotomi kerja-waktu senggang, dimana seni berfungsi sebagai
aktivitas waktu senggang, sebagai rekreasi, dalam pertentangannya dengam kerja.
3. Ada pula
menganggapnya terhadap aktivitas-aktivitas yang berfungsi mengimbangi
keberpihakan terhadap aktivitas-aktifitas instrumental.
4. Disamping
mengutarakan fungsi penyeimbangan itu, pandangan yang kemudian tersebut juga
menggiring kearah pandangan bahwa seni merupakan interes ekspresif yang
mereduksi ketegangan-ketengangan yang diciptakan oleh peranan-peranan instrumental.
5. Orang
lain yang menganggap seni tidak hanya mereduksi konflik-konflik sosial,
melainkan juga mencegahnya.
6. Seni
dapat dimanfaatkan sebagai propaganda politik, ikon religius, alat perdagangan,
pendidikan dalam psikologi atau sosiolohi.
Kelompok
tari balet adalah kelompok yang menuntut persaingan yang ketat antar
anggotanya, tetapi sekaligus menuntut kerja sama yang erat antar anggotanya
itu,. Yang kemudian menjadi persoalam adalah bagaimana para penari itu
berinteraksi satu sama lain sehingga harmoni kelompok, kerja sama dan sekaligus
persaingan dapat dipertahankan. Menghadapi persoalan tersebut Forsyth dan
Kolenda mencoba melihatnya sebagai hubungan antar berbagai subsistem atau
fase-fase dari suatu sistem sosial.
Fase
pertama adalah fase latency yang terjadi ketika mereka yang
membentuk kelompok itu tersebar dan tidak berinteraksi. Fase kedua
adalah fase instrumental-adaptif yang merunjuk kedapa persaingan yang keras
bersama-sama dengan kordinasi yang rumit dari bagian-bagian penari. Dalam hal
ini guru sebagai “diktator”. Kata-katanya adalah hukum. Meskipun demikian,
standar guru dalam menilai penari-penarinya terbagi pada para penarinya
sendiri. Fase ketiga adalah fase pemuasan tujuan yang mengacu kepada
penghargaan yang diterima oleh penari dalam bentuk jenjang pernyataan
kecocokan, dan kepuasan kreatif. Fase keempat adalah fase integratif,.
Fase ini mengacu kepada situasi-situasi dalam kehidupan sosial kelompok yang
didalamnya sentimen-sentimen negatif dan positif aktor-aktor ke arah sesamanya
atau perkumpulan secara keseluruhan berkembang.
B. Pendekatan
Fenomenologis
Berbeda
dari berbagai ahli sosiologi seni/sastra lainnya, Janet Wolff dalam bukunya
yang berjudul Hermeneutic Philosophy and The Sociology of Art (1975).ingin
membangun sosiologi seni pada level makna.
Untuk
dapat melakukan hal itu pendekatan yang diambil adalah pendekatan verstehen
meskipun didalamnya tidak tertutup kemungkinan untuk menerima pendekatan yang
bersifat behavioristik dan positivistik. Dengan pendekatan yang demikian
setidaknya ada dua masalah yang harus ditangani yaitu :
1.
Masalah yang berkaitan dengan validitas
fundamental dari pemahaman interpersonal, pemahaman sosiolog atau pokok
masalahnya
2.
Masalah yang berkaitan dengan objek pemahaman
yang meliputi pernyataan mengenai bagaimana seseorang dapat melampaui batas
aktor sosial individual untuk sampai kepada kelompok-kelompok sosial dan
produk-produk kultural.
Pendekatan
sosio-linguistik penting karena sudah banyak studi yang berhasil membuktikan
bahwa bahasa mempunyai peranan besar dalam penstrukturan pikiran dan
pengalaman. Kuatnya peranan bahasa itu dapat dijelaskan secara fenomenologis.
Menurut pendekatan ini, realitas subjektif maupun objektif dibangun secara
sosial.
Dalam
konsep pandangan dunia diandaikan bahwa masyarakat merupakan kesatuan yang padu
dan yang hidup dalam satu pandangan dunia yang sama. Meskipun demikian
pandangan dunia itu diproduk oleh satu kelompok sosial tertentu.
Dalam
teori Parsons konsep kesadaran, ideologi total, pandangan dunia termasuk dalam
sistem-sistem kultural. Sistem kultural dibangun dari organisasi nilai-nilai,
norma-norma dan simbol-simbol yang memadu pilihan yang dibuat oleh para aktor
dan yang membatasi tipe-tipe interaksi yang terjadi diantara mereka. Untuk itu
sebuah sistem kultural harus mempunyai konsistensi dalam derajat tertentu.
Menurut
Wolff, kelemahan teori Parsons diatas dalam rangka sosiologi seni fenomenologis
adalah kurangnya perhatian terhadap makna. Yang digarap bukan makna
eksistensial individu dalam masyarakat, melainkan abstraksi-abstraksi formal
yang digeneralisasikan, analisis verstehen Weber.
C. Teori
Dialogis M.M. Bakhtin
Diabnding
dengan dua teori sebelumnya, teori dialogis Bakhtin ini sesungguhnya dapat
dimasukkna ke dalam tradisi marxis sebab memang berangkat darinya. Meskipun
demikian, dari usahanya memecahkan persoalan=persoalan yang ditinggalkan oleh
teori-teori sosiologi sastra yang marxis, teori Bakhtin berangsur-angsur
bergerak kearah teori post-modernis yang akan dibicarakan dalam fasal berikutnya
yaitu fasal D.
1. Bakhtin
dan Tradisi Marxis
Dalam
bukunya yang berjudul The Formal Mathod in Literary Scholarship, Bakhtin
mengemukakan secara eksplisit keberangkatannya dari tradisi marxis. Sebagaimana
teori-teori dari tradisi marxis, Bakhtin menganggap studi sastra sebagai studi
superstruktur, studi ideologis yang dipertentangkan dengan studi struktur
dasar, studi sistem produksi ekonomik yang bersifat material.
a. Materialitas
Dunia Ideologis
Menurut Bakhtin semua produk ideologis
merupakan benda-benda material bagian dari realitas praktis yang mengitari
manusia. Hubungan senua makna ideologis itu dengan materi yang konkret dan
organisasinya lebihbersifat organik, esensial, daripada yang diduga sebelumnya.
Setiap tindakan individual dalam kreasi ideologis adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari proses soaial keseluruhan yang memberinya makna. Kreasi
ideologis tidak berada dalam diri kita, melainkan antara kita.
b. Problem
Studi Ideologis
Bakhtin mengatakan bahwa prinsip pertama yang
darinya studi sosiologis terhadap fenomena ideologis bekerja adalah prinsip
kodrat material dan sepenuhnya objektif dari kreasi ideologis secara
keseluruhan. Dengan prinsip ini studi sosiologi ideologi harus dapat menjawab
persoalan mengenai ciri-ciri dan bentuk material dari fenomena ideologis
sebagai materi yang bermakna dan sekaligus persoalan ciri-ciri dan bentuk
interaksi sosial yang dengannya makna itu direalisasikan.
2. Teori
Dialogis
Karena terlalu terikat pada tradisi marxis,
teori Bakhtin pada tahap ini masih cenderung totaliter dan hirarkis,
menempatkan lingkungan sosio-ekonomik sebagai pusat yang menentukan dan
menstrukturkan lingkungan-lingkungan kesusastraan dan akhirnya karya sastra itu
sendiri. Teori dialogis Bakhtin merupakan sebuah bangunan konseptual yang koheren,
merentang dari filsafat antopoligis, epistemologi humaniora, teori genre
sastra, hingga karya sastra.
a. Epistemologi
Menurut
Bakhtin ilmu alam dan ilmu humamiora merupakan dua ilmu yang tidak sama.dan
mengatakan bahwa spesifisitas ilmu humainiora adalah orientasinya pada
pikiran-pikiran, makna-makna, signifikan-signifikan yang datang dari orang
laindan disadari, dan dapat menjdi memasuki hanya melalui teks.
b. Teori
Tuturan
Menurut Bakhtin perbedaan antara proposisi
(kalimat) sesuai unit bahasa dengan tuturan terletak pada kenyataan bahwa kedua
diproduksi dalam suatu konteks yang khusus yang bersifat sosial, sedangkan yang
pertama tidak membutuhkannya.
Adapun situasi ini bagi Bakhtin
meliputi sejumlah interaksi antara pembicara dengan pendengar. Setidaknya ada
tiga aspek dari interaksi itu yaitu :
·
Nilai hirarkis karakter atau pristiwa yang
membentuk tuturan.
·
Tingkat kedekatannya dengan pengarang
·
Saling hubungan antara penerima dengan
pengarang di satu fihak dan dengan karakter dilain fihak.
c.
Intertekstualitas
Menurut Bakhtin tidak ada tuturan tanpa
hubungan dengan tuturan-tuturan lain. Dua karya verbal tuturan masuk kedalam
jenis hubungan semantik tertentu yang disebut hubungan dialogis. Dan
menyebutkan suatu tuturan monologis apabila di dalamnya tidak ditemukan sama
sekali suara lain selain atau disamping suara pengarang.
Dalam hal wacana dialogis itu Bakhtin juga
membedakannya menjadi wacana aktif dan pasif, wacana sintagmatik dan
paradigmatik serta wacana yang tersurat dan tersirat. Wacana pasif menggunakan
wacana yang terdahulu untuk ekspresinya seperti dalam parodi. Wacana aktif
menempatkan wacana terdahulu tetap di luar dirinya meskipun berhubungan
dengannya. Wacana paradigmatik terjadi apabila wacana terlebih dahulu berada
dalam hubungan substitutif dengan wacana masa kini. Wacana sintagmatif terjadi
apabila wacana terdahulu merupakan wacana potensial ndi masa depan yang
diantisipasi oleh dan terkandung dalam wacana masa kini. Wacana tersurat adalah
wacana dengan kehadiran penuh atau dialog eksplisit, sedangkan wacana tersirat
adalah wacana yang tidak terwujud secara material melainkan hanya tersedia
dalam kenangan kolektif kelompok sosial tertentu.
d. Sejarah
Sastra
Konsep popsisi antara wacana pictural dengan
linear yang dikemukakan diatas pada gilirannya menjadi dasar bagi teori Bakhtin
mengenai tahap-tahap perkembangan sejarah sastra. Dalam pendekatannya Bakhtin
menggunakan sejarah sistematik yaitu tidak menganalisis peristiwa-peristiwa
melainkan menyatakan eksistensi suatu tatanan yang dapat berubah yang dapat
digunakan meramalkan masa depan. Sejarah itu dilihat dalam dua kerangka dasar
yaitu oposisi antara linier dengan pictural. Ciri utama dari tradisi adalah
monologi yang didalamnya heterologi tetep berada diluar novel.
e. Genre
Sejajar
dengan kesukaannya pada ketakterpisahannya antara bentuk dengan isi dan pada
dominasi yang sosial atas yang indivisual, Bakhtin menyukai konsep genre. Menurut Bakhti genre
merupakan satuan sosial-historis dan sekaligus formal.bakhtin mengatakan bahwa
genre berasal dari orientasi ganda ke arah objek dan ke arah interlokutor.
Pendekatan genre terhadap realitas dibagi menjadi dua elemen, yaitu ruang dan
waktu. Ciri-ciri ruang dan waktu dalam setiap genre disebut chronotope. Di pihak lain genre mempunyai suatu dimensi
historis, tidak hanya merupakan interseksi properti-properti sosial dan
formal melainkan juga suatu fragmen dari
kenangan kolektif. Secara rinci ciri-ciri novel sebagai genre itu adalah :
·
Secara stilistik bersifat tiga dimensional,
terikat pada kesadaran mengenai poliglot yang mengaktualisasikan diri di
dalamnya
·
Mengandung transformasi radikat terhadap
kordinat-kordinat temporal dari imaji literer
·
Mengandung zona konstruksi baru dari imaji
literer, zona kontak ,maksimum dengan masa kini dengan keterbukaannya.
f.
Antropologi Filosofis
Seluruh
untaian menunjukkan prinsip dialogis yang menjadi dasar teori Bakhtin baik
mengenai tuturan ataupun wacana pada umumnya. Dalam usahanya membangun teori
sastra yang terpadu Bakhtin dipaksa untuk merumuskan konsep mengenai eksistensi
manusia di mana orang lain memainkan peranan penting.
D. Menuju
Sosiologi Sastra Post-Modern
Teori dialogis Bakhtin merupakan teori yang
disusun pada tahun 1920-an . meskipun demikian teori itu sudah memperlihatkan
kecenderungan kearah post-modernisme yang justru baru muncul ditahun 1950-an
dan bahkan baru dikenal dan di akui pada tahun 1970-an setelah munculnya
tulisan-tulisan Lyotard.
Didalam teori Bakhtin kecenderungan serupa itu
terutama menonjol dalam gagasannya mengenai epistemologi humainora, wacana
dialogis, dan novel polifonik. Sebagaimana telah dikemukakan objek humaniora
bagi Bakhtin adalah tidak hanya objek material melainkan subjek.
1. Lenyap/Meluasnya
Studi Sastra
Menurut Easthope, paradigma studi sastra
konvensional berkisar pada empat konsep sebagai berikut :
1.
Teks sastra diperlakukan sebagai sesuatu yang
intransitif, suatu objek yang cukup-diri, merupakan tujuan dalam dirinya
sendiri yang padanya pembaca/peneliti harus berorientasi.
2.
Atas dasar itu, karena teks sudah menjadi statis,
suatu objek untuk analisis, sebuah ikon verba, seluruh kemungkinan makna harus
secara aktif dipertimbangkan.
3.
Studi sastra konvensional yang dipengaruhi oleh
pembacaan modernis mengadaikan dan menemukan bahwa teks mempunyai satu tema
penting.
4.
Apa yang menentukan signifikansi suatu aspek
dari teks yang dapat membuat pembacaan tidak bergerak kearah yang tidak
terbatas.
2. Teori-Teori
Tanding
Teori strukturalisme menawarkan konsep mengenai
karya sastra sebagai sistem sastra sebagai sistem sastra, terbangun dari
hubungan antara penanda dengan petanda. Dengan teori ini konsep pengarang
sebagai salah satu alat pembangun kesatuan sastra karena karya sastra dianggap
ditentukan oelh sistem tanda, bukan oleh pengarang.
3. Perkembangan
Studi Kultural di Inggris
Sejak awal studi kultural di Inggris mengambil
posisi yang bertentangan dengan studi sastra konvensional. Pada tahun 1950-an
yang muncul adalah kulturalisme dari Raymond Williams. Teori ini menolak
pembatasan sastra hanya pada bentuk-bentuk kultural yang tinggi. Menurutnya
kebudayaan populer harus diperhitungkan dalam studi kultural karena kebudayaan
pada hakikatnya merupakan cara hidup dan kebudayaan populer merupakan ekspresi
kelas kerja.
4. Menuju
Sosiologi Sastra Post-Modern
Suatu totalitas bukan penstrukturan ekspresif
melainkan penstrukturan yang terdesentralisasi meskipun saling tergantung satu
sama lain dan masing-masing mengikuti efektivitas dan temporalitasnya sendiri.
Analisis sistem tanda diperlukan karena petanda
tergantung pada penanda. Akan tetapi, analisis sistem tanda ini akan menjadi
faktor malistik apabila tidak dikaitkan dengan ideologi.. definisi ideologi
adalah makna yang dibentuk secara sosial. Lebih khusus lagi ideologi merupakan
bentuk kekuasaan yang menokong beberapa kemungkinan sosial dengan melemahkan
yang lain.
rujukan janet wolf apa kak?
BalasHapus