Selasa, 19 Juli 2011

TEORI KOGNITIFISME JEROME BRUNER

A. Pendahuluan
Salah satu ruang lingkup kajian psikologi pendidikan adalah berusaha untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara belajar yang tepat agar bisa mencapai tujuan belajar dengan baik. Untuk menjawab pertanyaan di atas melahirkan berbagai pemikiran ahli mengenai teori-teori belajar.
Secara umum, pemikiran-pemikiran para ahli tersebut bisa digolongkan menjadi empat aliran teori belajar dimana masing-masing aliran mempunyai tokohnya sendiri. Keempat aliran tersebut adalah aliran behavioristik, kognitif, humanistik dan sibernatik (Hamzah,2008:6).
Keempat teori belajar tersebut memiliki karakteristik yang berbeda, yakni aliran behavioristik menekankan pada hasil dari pada proses belajar. Aliran kognitif menekankan pada proses belajar. Aliran humanistik menekankan pada isi atau apa yang dipelajari. Aliran sibernatik menekankan pada sistem informasi yang dipelajari.
Sejalan dengan upaya menerapkan falsafah teknologi pembelajaran tutwuri handayani pada semua jenjang pendidikan formal, pendekatan kogitif mulai menjajaki keberadaan pendekatan perilaku sejak pertengahan dekade 80-an. Padahal, dibelahan bumi barat telah dimulai pada dekade sebelumnya, melalui pembaharuan kurikulum lokal di masing-masing lembaga dan pusat penelitian dan pengembangan pendidikan yang mereka miliki.
Pendekatan kognitif itu sendiri berangkat pada teori Gesalt yang memposisikan bahwa keseluruhan bukan penjumlahan dari bagian-bagiannya. Artinya, setiap kejadian hanya dapat dipahami setelah diilhami lebih dahulu pola strukturnya, baru kemudian pada susunan unsur-unsur dan komponen-komponen serta interelasi antar komponen dari unsur itu sehingga terbentuk gambaran mental sebagai satu kesatuan persepsi yang disebut Insight. (Hamzah,2008:52)
Setelah itu banyak dikembangkan teori belajar dan pembelajaran setelah Gesalt. Dalam bidang teori belajar kognitif, mulailah bermunculan para tokoh-tokoh yang mengeluarkan teori tentang itu, diantaranya Ausebel, Jerome Bruner, Robert Gagne dan lainnya.
Lebih lanjut makalah sederhana ini akan membahas siapa itu Jerome Bruner, apa teorinya? Apa materi pembelajarannya? bagaimana proses belajar-mengajar menurutnya?, lalu bagaimana peranan guru, siswa, dan teman-temanya? serta kelebihan dan kelemahan teorinya ? perbedaan teori belajar Brunner dan ahli teori kognitif lainnya?
B. Pembahasan
1. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif merupakan suatu teori yang lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.
Pada masa-masa awal diperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengelolah stimulus, dan bagaimana siswa tersebut bisa sampai kepada respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat di sini). Namun, lambat laun perhatian ini mulai bergeser. Saat ini perhatian mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa.
Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan (Bell,1991:11). Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir, berkesinambungan, dan menyeluruh. Ibarat seseorang yang memainkan musik orang ini tidak “memahami” not-not balok terpampang di partitur sebagai informasi yang saling lepas berdiri sendiri, tetapi sebagai suatu kesatuan yang secara utuh masuk kepikiran dan keperasaannya. Seperti juga ketika anda membaca tulisan ini, bukan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah yang dapat diserap dan dikunyah dalam pikiran, tetapi adalah kata, kalimat, paragrap yang kesemuanya itu seolah jadi satu,mengalir, melebur secara total bersamaan.
Menurut aliran kognitif, belajar merupakan proses internal yang tidak dapat diamati secara langsung. Perubahan perilaku seseorang yang tampak sesungguhnya hanyalah refleksi dari perubahan internalisasi persepsi dirinya terhadap sesuatu yang sedang diamati dan dipikirkannya. Sedangkan fungsi stimulus yang datang dari luar direspon sebagai activator kerja memori otak untuk membentuk dan mengembangkan struktur kognitif melalui proses asimilasi dan akomodasi yang terus-menerus di perbaharui, sehingga akan selalu saja ada sesuatu yang baru dalam memori dari setiap akhir kegiatan belajar (Hamzah,2008:53).
Dalam pandangan psikologi kognitif, peran guru atau dosen menjadi semakin menentukan apabila variabel perbedaan karakter individu dihargai dalam bentuk penyajian variasi pola struktur kegiatan belajar mengajar (Hamzah,2008:53).
Dalam praktik, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan” yang diusulkan oleh Jean Piaget “belajar bermakna”nya Ausebel dan “belajar penemuan secara bebas”(Free Discovery Learning)” oleh Jerome Bruner. Masalah yang sering muncul pada tahap aplikasi teori-teori kognitif di bidang pembelajaran adalah dalam kaitannya dengan pengorganisasian isi pesan atau bahan belajar dan penstrukturan kegiatan belajar-mengajar (Hamzah,2008:53). Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa penelitian dan pengembangan paket-paket program pembelajaran pada berbagai jenis cabang disiplin keilmuan dan keahlian ternyata tidak menunjukkan hasil yang konsisten. Salah satu faktor yang dominan pengaruhnya terhadap variasi keefektifan pembelajaran adalah struktur bangunan disiplin ilmu yang dipelajari
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan kognitivism ini, titik fokusnya pada proses pemahaman (knowing), sedangkan variabel kuncinya terletak pada cara pembuat keputusan, proses pemahaman, struktur kognitif, persepsi, proses informasi, dan pengingat. Kegunaan pendekatan kognitivisme untuk guru adalah explains, development of understanding, emphasizes, importance of meaningfulness, dan organization.
2. Riwayat Hidup Bruner
Seymour Jerome Bruner lahir pada 1 oktober 1915 di New York City, Amerika Serikat. Memperoleh pendidikan di BA, Duke University, 1937. PhD, Harvard, 1941 (psikologi). Profesor psikologi di Harvard (1952-1972). Profesor psikologi di Oxford (1972-1980). Penghargaan yang pernah diperoleh yaitu CIBA Medali Emas, 1974, karena "dan asli penelitian khusus." Balzan Prize pada tahun 1987 untuk "kontribusi untuk memahami pikiran manusia." Dan Fellow American Academy of Arts and Sciences. Selain itu juga bruner pernah bekerja di berbagai tempat (www.gogla_terjemahan_biografi_bruner.com) diantaranya adalah :
1) Bruner, JS (1965/1960). Proses pendidikan. Cambridge, MA: Harvard University Press.
2) Bruner, JS, Goodnow, J,. & Austin, A. (1956). Studi tentang Berpikir. New York: Wiley
3) Bruner, JS, Greenfield, P. dan Olver, R (1966). Studi kognitif dalam pertumbuhan. Cambridge, MA: Havard University Press.
4) Bruner, JS (1966). Menuju Teori Instruksi. Cambridge, MA: Harvard University Press.
5) Bruner, JS (1973). Going Beyond Mengingat Informasi. New York: Norton.
6) Bruner, JS (1983). Anak Bicara: Belajar Gunakan Bahasa. New York: Norton.
7) Bruner, JS (1986). Aktual Minds, Possible Worlds. Cambridge, MA: Harvard University Press.
8) Bruner, JS (1990). Kisah Arti. Cambridge, MA: Harvard University Press.
3. Teori kognitifisme menurut Jerome Bruner
a. Materi Pembelajaran Pada Teori Belajar Bruner
Ada empat tema dalam pendidikan yang dikembangkan oleh bruner (www.teori_bruner.com) tema pertama mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan. Hal ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita menolong siswa untuk untuk melihat, bagaimana fakta-fakta yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain.
Tema kedua adalah tentang kesiapan untuk belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas penguasaan ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan seseorang untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi.
Tema ketiga adalah menekankan nilai intuisi dalam proses pendidikan. Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan yang sahih atau tidak. Tema keempat adalah tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu.
Jerome S. Bruner adalah seorang ahli psikologi kognitif (1915) yang memberi dorongan agar pendidikan memberi perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir. Penelitiannya yang sering dilakukan Bruner meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar dan berfikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi. Ia menandai perkembangan kognitif manusia sebagai berikut (Budiningsih,2008:40-41) :
1) Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi rasangsangan.
2) Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan system penyimpanan informasi secara realis.
3) Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri .
4) Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru dan orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
5) Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain.
6) Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternatif secra stimulant, memilih tindakan tepat, dan dapat memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai stituasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa materi pembelajaran pada teori Bruner meliputi struktur pengetahuan, kesiapan untuk belajar, nilai intuisi dalam proses pendidikan, dan motivasi atau keinginan belajar.
b. Proses Belajar Menurut Teori Bruner
Dalam memandang proses belajar, Brunner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan teorinya yang disebut “(Free discovery learning)” (Budiningsih,2008:40-41). Ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siwa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum untuk memahami konsep kejujuran, misalnya siwa pertama-tama tidak menghafal definisi kata kejujuran, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata “kejujuran”.
Sementara ditinjau dari arti katanya “discover” berarti menemukan dan “discovery”adalah penemuan. Robert B. menyatakan bahwa discovery adalah proses mental di mana anak/individu mengasilmilasi konsep dan prinsip (Ahmadi,2005:76). Jadi, seseorang siswa dikatakan melakukan discovery bila anak terlihat menggunakan proses mentalnya dalam usaha menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Proses mental yang dilakukan, misalnya mengamati, menggolongkan, mengukur, menduga dan mengambil kesimpulan.
Selain itu Bruner menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap (Muhbidin Syah,2006:10). Ketiga tahap itu adalah: (1) tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (2) tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan (3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Jadi dapat disimpulkan proses belajar menurut Bruner adalah suatu proses yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya. Teori belajar Bruner dikenal dengan teori Free Discovery learning
c. Proses Mengajar dalam Teori Bruner
Brunner mengemukakan perlunya ada teori pembelajaran yang akan menjelaskan asas-asas untuk merancang pembelajaran efektif di kelas. Menurut pandangan Brunner (1964) bahwa teori belajar itu bersifat deskriftif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat prespektif, misalnya, teori belajar memprediksikan berapa usia maksimum seorang anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaiman cara-cara mengajarkan penjumlahan.
Dalam mengajar guru tidak menyajikan bahan pembelajaran dalam bentuk final, tetapi anak didik diberi peluang untuk mencari dan menemukan sendiri dengan menggunakan teknik pendekatan pemecahan masalah. Secara garis besar, prosedurnya (Ahmadi,2005: 22-23) sebagai berikut :
1) Stimulus (pemberian perangsang/stimuli) : Kegiatan belajar dimulai dengan memberikan pertanyaan yang merangsang berfikir si belajar, menganjurkan dan mendorongnya untuk membaca buku dan aktivitas belajar lain yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
2) Problem Statement (mengidentifikasi masalah) : Memberikan kesempatan kepada si belajar untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan belajar kemudian memilih dan merumuskan dalam bentuk hipotesa (jawaban sementara dari masalah tersebut).
3) Data Collection (pengumpulan data) : Memberikan kesempatan kepada para si belajar untuk mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesa tersebut.
4) Data Processing (pengolahan data) : Mengolah data yang telah diperoleh siswa melalui kegiatan wawancara, observasi dan lain-lain. Kemudian data tersebut ditafsirkan.
5) Verifikasi : Mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar dan tidaknya hipotesis yang diterapkan dan dihubungkan dengan hasil dan processing.
6) Generalisasi : Mengadakan penarikan kesimpulan untuk dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil verifikasi.
Selain itu Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam 4 macam menurut fungsinya (Nasution,2000:15) sebagai berikut :
1) Alat untuk menyampaikan pengalaman “vicarious”, yaitu menyajikan bahan-bahan kepada murid-murid yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman langsung yang lazim di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suara dll.
2) Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala, misalnya model molekul atau alat pernafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi, juga program yang memberikan langkah-langkah untuk memahami suatu prinsip atau struktur pokok.
3) Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film tentang alam yang memperlihatkan perjuangan untuk hidup, untuk memberi pengertian tentang suatu ide atau gejala.
4) Alat automatisasi seperti “teaching machine” atau pelajaran berprograma, yang menyajikan suatu masalah dalam urutan yang teratur dan memberi ballikan atau feedback tentang responds murid.
Menurut Brunner perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun mata pelajaran dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut. Gagasanya mengenai kurikulum spiral (a spiral curriculum) sebagai suatu cara mengorganisasikan materi pelajaran tingkat makro, menunjuk cara mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan materi secara umum dan kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci. (Budiningsih,2008:42).
Pendekatan penataan materi dan umum ke rinci yang dikemukakannya dalam model kurikulum spiral merupakan bentuk penyesuaian antara materi dipelajari dengan tahap perkembangan kognitif orang yang belajar. Sejalan dengan pernyataan di atas, maka untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya
Menurut Brunner perkembangan kognitif seseorang terjadi melaui tiga tahap pembelajaran yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu : Enaktif, Ikonik dan simbolik (Budiningsih,2008:41).
a. Tahap enaktif, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitar, artinya dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
b. Tahap Ikonik, seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal. Maksudnya dalam memhami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
c. Tahap Simbolik, seseorang telah mampu memilki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuananya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya. Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak sistem simbol. Semakin matang seseorang dalam proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Meskipun begitu tidak berarti ia tidak lagi menggunakan sistem enaktif dan ikonik. Penggunaan media dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bukti masih diperlukannnya sistem enaktif dan ikonik dalam proses belajar.
Sebagai contoh dari ketiga cara penyajian ini, tentang pelajaran penggunaan timbangan. Anak kecil hanya dapat bertindak berdasarkan ”prinsip-prinsip” timbangan dan menunjukkan hal itu dengan menaiki papan jungkat-jungkit. Ia tahu bahwa untuk dapat lebih jauh kebawah ia harus duduk lebih menjauhi pusat. Anak yang lebih tua dapat menyajikan timbangan pada dirinya sendiri dengan suatu model atau gambaran. ”Bayangan” timbangan itu dapat diperinci seperti yang terdapat dalam buku pelajaran. Akhirnya suatu timbangan dapat dijelaskan dengan menggunakan bahasa tanpa pertolongan gambar.
Contoh Penerapan Teori Belajar Bruner dalam Pembelajaran dalam (www.Jeremo_bruner.com) sebagai berikut :
a. Sajikan contoh dan non contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
Contoh :
1) Misalnya dalam mengajarkan mamalia contohnya : manusia, ikan paus, kucing, atau lumba-lumba.
2) Sedangkan non contohnya adalah ayam, ikan, katak atau buaya dan lain-lain.
b. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
Contoh :
Beri pertanyaan kepada si belajar seperti berikut ini “apakah ada sebutan lain dari kata “rumah”? (tempat tinggal) “dimanfaatkan untuk apa rumah?” (untuk istirahat, berkumpulnya keluarga dan lain-lain) adakah sebutan lainnya dari kata rumah tersebut?
c. Beri satu pertanyaan dan biarkan siswa untuk berusaha mencari jawabannya sendiri.
Contoh :
1) Bagaimana terjadinya embun?
2) Apakah ada hubungan antara Kabupaten dan Kotamadya?
d. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Contoh :
1) Beri si belajar suatu peta Yunani Kuno dan tanyakan di mana letak kota-kota utama Yunani.
Jangan berkomentar terlebih dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang dapat memandu si belajar untuk berfikir dan mencari jawaban yang sebenarnya dan lain-lain.
Jadi dapat disimpulkan dalam proses mengajar menurut Bruner adanya pendekatan spiral atau lebih dikenal dengan a apiral curriculum, yaitu mengurutkan materi pelajaran mulai dari mengajarkan materi secara umum kemudian secara berkala kembali mengajarkan materi yang sama dalam cakupan yang lebih rinci, dengan memperhatikan tahapan perkembangan kognitif seseorang (enaktif, ikonik, dan simbolik).
d. Peran Guru dalam Teori Bruner
Dalam belajar penemuan (Discovery Learning), peranan guru dapat dirangkum sebagai berikut (www. Teori_belajar_kognitif.com) :
1) Merencanakan pelajaran demikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh para siswa.
2) Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk memecahkan masalah. Sudah seharusnya materi pelajaran itu dapat mengarah pada pemecahan masalah yang aktif dan belajar penemuan, misalnya dengan penggunaan fakta-fakta yang berlawanan. Guru hendaknya mulai dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh siswa-siswa. Kemudian guru mengemukakan sesuatu yang berlawanan. Dengan demikian terjadi konflik dengan pengalaman siswa. Akibatnya timbullah masalah. Dalam keadaan yang ideal, hal yang berlawanan itu menimbulkan suatu kesangsian yang merangsang para siswa untuk menyelidiki masalah itu, menyusun hipotesis-hipotesis, dan mencoba menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang mendasari masalah itu.
3) Selain hal-hal yang tersebut di atas, guru juga harus memperhatikan tiga cara penyajian yang telah dibahas terdahulu. Cara cara penyajian itu ialah cara enaktif, cara ikonik, dan cara simbolik. Contoh cara-cara penyajian ini telah diberikan dalam uraian terdahulu. Untuk menjamin keberhasilan belajar, guru hendaknya jangan menggunakan cara penyajian yang tidak sesuai dengan tingkat kognitif siswa. Disarankan agar guru mengikuti aturan penyajian dari enaktif, ikonik, lalu simbolik. Perkembangan intelektual diasumsikan mengikuti urutan enaktif, ikonik, dan simbolik, jadi demikian pula harapan tentang urutan pengajaran.
4) Bila siswa memecahkan masalah di laboratonium atau secara teoretis, guru hendaknya berperan sebagai seorang pembimbing atau tutor. Guru hendaknya jangan mengungkapkan terlebih dahulu prinsip atau aturan yang akan dipelajari, tetapi ia hendaknya rnemberikan saran-saran bilamana diperlukan. Sebagai seorang tutor, guru sebaiknya memberikan umpan balik pada waktu yang tepat. Umpan balik sebagai perbaikan hendaknya diberikan dengan cara demikian rupa, hingga siswa tidak tetap tergantung pada pertolongan guru. Akhirnya siswa harus melakukan sendiri fungsi tutor itu.
5) Menilai hasil belajar merupakan suatu masalah dalam belajar penemuan. Seperti kita ketahui, tujuan-tujuan tidak dapat dirumuskan secara mendetail, dan tujuan-tujuan itu tidak diminta sama untuk berbagai siswa. Lagi pula tujuan dan proses tidak selalu seiring. Secara garis besar, tujuan belajar penemuan ialah mempelajari generalisasi-generalisasi dengan menemukan sendiri generalisasi-generalisasi itu.
Di lapangan, pènilaian basil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar mengenai suatu bidang studi, dan kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip-prinsip itu pada situasi baru. Untuk maksud ini bentuk tes dapat berupa tes objektif atau tes essai.
Jadi dapat disimpulkan peran guru menurut Bruner, guru biasa menjadi tutor, fasilitator, motivator dan evaluator. Dengan kata lain dalam belajar penemuan, guru tidak begitu mengendalikan proses pembelajaran. Guru hendaknya mengarahkan pelajaran pada penemuan dan pemecahan masalah. Penilaian hasil belajar meliputi tentang konsep dasar dan penerapannya pada situasi yang baru.
e. Peran Teman dan Siswa dalam Teori Bruner
Peran teman dan siswa dianggap penting, sebagaimana kita ketahui bahwa teori Bruner ini lebih menekankan agar siswa dalam proses belajar-mengajarnya lebih berperan aktif , dan memberikan kesempatan kepada siwa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya. Maka itu dalam belajar guru perlu mengusahakan agar setiap siswa berpartisipasi aktif, minatnya perlu ditingkatkan, kemudian perlu dibimbing untuk mencapai tujuan tertentu (Slameto,2003:12).
Sementara peran teman dalam proses belajar “Discovery Learning” cukup diperlukan, dimana mereka bisa saling bertukar informasi dari apa yang mereka pelajari dan temukan sendiri, selain itu teori ini bisa disajikan dalam bentuk diskusi kelas, demonstrasi, kegiatan laboratorium, kertas kerja siswa, dan evaluasi-evaluasi (Ahmadi,2005:78).
Pada diskusi, guru harus merumuskan lebih dahulu yang akan dicapai, mengenai konsep-konsep, prinsip-prinsip tau kemampuan apa saja yang dapat dikembangkan siswa. Prinsip-prinsip itu diusahakan tersaji dalam bentuk masalah. Siswa diharapkan dapat merumuskan, mengolahnya, kemudian memecahkannya, sehingga mereka dapat menemukan sendiri konsep-konsep atau prinsip-prinsip sesuai dengan yang telah direncanakan guru.
Jadi dapat disimpulkan peran teman dan siswa dianggap penting, terutama pada proses belajar mengajar, peran siswa harus lebih aktif dalam menemukan dan mengembangkan sendiri materi yang diajarakan. Sementara peran teman sebagai sosok yang dapat membantu memberikan tambahan informasi selain guru, demi tercapainya tujuan pembelajaran.
C. Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Penemuan Bruner
Kelebihan dari Teori Belajar Penemuan (Free Dicovery Learning) adalah :
1) Belajar penemuan dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna.
2) Pengetahuan yang diperoleh si belajar akan tertinggal lama dan mudah diingat.
3) Belajar penemuan sangat diperlukan dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan dalam belajar agar si belajar dapat mendemonstrasikan pengetahuan yang diterima.
4) Transfer dapat ditingkatkan di mana generalisasi telah ditemukan sendiri oleh si belajar daripada disajikan dalam bentuk jadi.
5) Penggunaan belajar penemuan mungkin mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasi belajar.
6) Meningkatkan penalaran si belajar dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.(www.teori_belajar_kognitif.com)
Kelemahan dari Kelebihan dari Teori Belajar Penemuan (Free Discovery Learning) adalah (Ahmadi,2005:79) :
1) Belajar Penemuan ini memerlukan kecerdasan anak yang tinggi. Bila kurang cerdas, hasilnya kurang efektif
2) Teori belajar seperti ini memakan waktu cukup lama dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menyebabkan kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari
D. Perbedaan Teori Belajar Bruner dari Ahli Teori Kognitif Lainnya
Brunner lebih menekankan pada pemberikan kesempatan kepada siwa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya, yang lebih dikenal dengan teori Free Discovery Learning. Sementara Ausebel mengemukakan konsep belajar bermaknanyan yaitu belajar yang disertai dengan pengertian. Belajar bermakna ini akan terjadi apabila informasi baru yang diterimanya mempunyai hubungan dengan konsep yang sudah ada dan diterima oleh siswa (Advance Organizers). Sementara Jean Piaget mengeluarkan teori Cognitive Development karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. (Soemanto,1998:130)
E. Konsep Dalil Naqli terhadap Teori Kognitipisme Jerome Bruner
Dalam teori kognitivisme Jerome brunner terkenal dengan teori belajarnya yaitu belajar penemuan (free discovery learnig) yakni menekankan pada pemberikan kesempatan kepada siwa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahamannya sendiri. Teori ini sebenarnya telah lebih dulu dijelaskan di dalam Al-Qur’an dalam surat ar-Ra’du ayat 11, dimana manusia harus menemukan nasib mereka sendiri.
    �    �  
……“ Sesengguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan mereka sendiri…”
Sementara tahapan dalam proses mengajar menurut Jerome Brunner yaitu : Stimulus, Problem Statement, data collection, data processing, verifikasi, dan terakhir generalisasi yang penjelasannya telah dijelaskan di atas. Hal ini sejalan dengan Al-Qur’an dalam ayat Al-Insyiroh : 7 serta Al-Insyiqoq :19
QS. Al-Insyiqaaq (Al-Insyiqaq) [84] : ayat 19

[84:19] sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),


F. Kesimpulan
Teori Bruner mempunyai ciri khas dari pada teori belajar yang lain yaitu tentang ”Discovery Learning” yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri. Disamping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-pengulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut ”kurikulum spiral (a Spiral Curriculum)”. Secara singkat, kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh. Menurut Bruner cara menyajikan pelajaran harus disesuaikan dengan derajat berfikir anak. Ada tiga tahap berfikir anak yaitu tahap enaktif, ikonik, dan simbolik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar