Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan memiliki nuansa berbedaantara saru daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan. Karenanya banyak teori yang dikemukakan pada pemikir yang bermuara pada munculnya berbagai aliran pendidikan.
A. Aliran Empirism
Tokoh aliran Empirisme adalah John Lock,
filosof Inggris yang hidup pada tahun1632-1704. Teorinya dikenal dengan Tabulae
rasae (meja lilin), yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke dunia seperti
kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai corak dan tulisan yang
digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua
(faktor keturunan) tidak dipentingkan. Pengalaman diperoleh anak melalui
hubungan dengan lingkungan (sosial, alam, dan budaya). Pengaruh empiris yang
diperoleh dari lingkungan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut
aliran ini, pendidik sebagaifaktor luar memegang peranan sangat penting, sebab
pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima
pendidikan sebagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku,
sikap, serta watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Misalnya: Suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis.
Segala alat diberikan dan pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena
bakat melukis pada anak itu tidak ada. Akibatnya dalam diri anak terjadi
konflik, pendidikan mengalami kesukaran dan hasilnya tidak optimal. Contoh lain
ketika dua anak kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan dilingkungan yang
berbeda. Satu dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin,
yang satu dididik di lingkungan keluarga kaya yang hidup di kota dan
disekolahkan di sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
B. Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah
Schopenhauer. la adalah filosof Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran
ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan
oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap
pendidikan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan
oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Dengan demikian, menurut aliran ini,
keberhasilan belajar ditentukan olehindividu itu sendiri. Nativisme
berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat,
dan sebaliknya jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan
anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi
perkembangan anak itu sendiri. Pandangan itu tidak menyimpang dari kenyataan.
Misalnya, anak mirip orangtuanya secara fisik dan akan mewarisi sifat dan bakat
orangtua. Prinsipnya, pandanganNativisme adalah pengakuan tentang adanya daya
asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya
psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar
lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan
berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya
sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua
yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman
musik yang mungkin melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai
pada setengah kemampuan orangtuanya. Coba simak cerita tentang anak manusia
yang hidup di bawah asuhan serigala. la bernama Robinson
Crussoe. Crussoe sejak bayi hidup di tengah hutan rimba belantara yang ganas.
la tetap hidup dan berkembang atas bantuan air susu serigala sebagai induknya.
Serigala itu memberi Crussoe makanan se-suai selera serigala sampai dewasa.
Akhirnya, Crussoe mempunyai gaya hidup, bicara, ungkapan bahasa, dan watak
seperti serigala, padahal dia adalah anak manusia. Kenyataan ini pun membantah
teoriNativisme, sebab gambaran dalam cerita Robinson Crussoe itu telah
membuktikan bahwa lingkungan dan didikan membawa pengaruh besar terhadap
perkembangan anak.
C. Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah J.J. Rousseau. la adalah filosof
Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Naturalisme mempunyai pandangan bahwa
setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan baik, namun pembawaan
tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan, sehingga aliran
Naturalisme sering disebut Negativisme. Naturalisme memiliki tiga prinsip
tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan Aminuddin R., 1992: 9), yaitu:
a). Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri.
Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan
perkembangan di dalam dirinya secara alami.
b). Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang
menyenangkan. Pendidik berperan sebagai fasilitator atau narasumber yang
menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik ke arah
pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh
bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada diri
anak didik sendiri.
c). Program pendidikan di
sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan
belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak
didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan
belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya. Dengan demikian,
aliran Naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang bersifat
paedosentris; artinya, faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat
kegiatan proses belajar-mengajar.
D. Aliran
Konvergensi
Tokoh
aliran Konvergensi adalah William Stem. la seorang tokoh pendidikan Jerman yang
hidup tahun 1871-1939. Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi
dari aliran Nativisme dan Empirisme . Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir
di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak
selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi,faktor pembawaan dan
lingkungan sama-sama berperan penting. Anak yang mempunyai pembawaan baik dan
didukung oleh lingkungan pendidikan yang baik akan menjadi semakin baik.
Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa
dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri.
Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak
secara optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang dibawa anak. Dengan
demikian, aliran Konvergensi menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada
faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan. Hanya saja, William Stem tidak
menerangkan seberapa besar perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut. Sampai
sekarang pengaruh dari kedua faktor tersebut belum bisa ditetapkan.
E. Aliran
Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah John
Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan -
kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat
menekan, ataupun masalah - masalah yang bersifat mengancam dirinya. Aliran ini
memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu
ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding
makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif yang didukung oleh
kecerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan
kecerdasan menjadi tugas utama pendidik, yang secara teori mengerti karakter
peserta didiknya.
Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.
Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.
F. Aliran Esensialisme
Aliran Esensialisme bersumber
dari filsafat idealisme dan realisme. Sumbangan yang diberikan keduanya
bersifat eklektik. Artinya, dua aliran tersebut bertemu sebagai pendukung
Esensialisme yang berpendapat bahwa pendidikan harus bersendikan nilai-nilai
yang dapat mendatangkan kestabilan. Artinya, nilai-nilai itu menjadi sebuah
tatanan yang menjadi pedoman hidup, sehingga dapat mencapai kebahagiaan.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan
filsafat yang korelatif selama empat abad yang lalu . yaitu zaman
Renaisans.
Adapun pandangan tentang
pendidikan dari tokoh pendidikan Renaisans yang pertama adalah Johan Amos
Cornenius (1592-1670), yaitu agar segala sesuatu diajarkan melalui indra,
karena indra adalah pintu gerbangnya jiwa. Tokoh kedua adalah Johan Frieddrich
Herbart (1776-1841) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan
jiwa seseorang dengan kebajikan Tuhan. Artinya, perlu ada penyesuaian dengan
hukum kesusilaan. Proses untuk mencapai tujuan pendidikan itu oleh Herbart
disebut sebagai pengajaran. Tokoh ketiga adalah William T. Harris (1835-1909)
yang berpendapat bahwa tugas pendidikan adalah menjadikan terbukanya realitas
berdasarkan susunan yang tidak terelakkan dan bersendikan ke-satuan spiritual.
Sekolah adalah lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun,
dan menjadi penuntun penyesuaian orang pada masyarakat. Dari pendapat di atas,
dapat disimpulkan bahwa aliran Esensialisme menghendaki agar landasan
pendidikan adalah nilai-nilai esensial, yaitu yang telah teruji oleh waktu,
bersifat menuntun, dan telah turun-temurun dari zaman ke zaman sejak zaman
Renaisans.
G. Aliran
Perenialisme
Tokoh aliran Perenialisme adalah Plato, Aris-toteles,
dan Thomas Aquino. Perenialisme memandang bahwa kepercayaan aksiomatis zaman
kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan sekarang. Pandangan
aliran ini tentang pendidikan adalah belajar untuk berpikir. Oleh sebab itu,
peserta didik harus dibiasakan untuk berlatih berpikir sejak dini. Pada
awalnya, peserta didik diberi kecakapan – kecakapan dasar seperti membaca,
menulis, dan berhitung. Selanjutnya perlu dilatih pula kemampuan yang lebih
tinggi seperti berlogika, retorika, dan bahasa.
H. Aliran
Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali
oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. la dipandang sebagai
cikal-bakal lahirnya Konstruksionisme. la mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dan
manusia adalah tuan dari ciptaan (Paul Suparno, 1997: 24). Mengerti berarti
mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala
sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat mengetahui
sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada
struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang
mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru (Paul Supamo, 1997: 33). Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Suwardi, 2004: 24). Kesimpulannya, aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Dengan demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang ke-pada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru (Paul Supamo, 1997: 33). Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Suwardi, 2004: 24). Kesimpulannya, aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra, yaitu indra penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa. Dengan demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang ke-pada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.
B. TEORI-TEORI PENDIDIKAN
1. Teori Koneksionisme
Edward Lee
Thorndike adalah tokoh psikologi yang mampu memberikan pengaruh besar terhadap
berlangsungnya proses pembelajaran. Teorinya dikenal dengan teori
Stimulus-Respons. Menurutnya, dasar belajar adalah asosiasi antara stimulus (S)
de¬ngan respons (R). Stimulus akan memberi kesan ke-pada pancaindra, sedangkan
respons akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan. Asosiasi seperti itu
disebut Connection. Prinsip itulah yang kemudian disebut sebagai teori
Connectionism. mengandung problem. Model eksperimen yang ditempuhnya sangat
sederhana, yaitu dengan menggunakan kucing sebagai objek penelitiannya. Kucing
dalam keadaan lapar dimasukkan ke dalam kandang yang dibuat sedemikian rupa,
dengan model pintu yang dihubungkan dengan tali. Pintu tersebut akan terbuka
jika tali tersentuh/tertarik. Di luar kandang diletakkan makanan untuk
merangsang kucing agar bergerak ke-luar. Pada awalnya, reaksi kucing
menunjukkan sikap yang tidak terarah, seperti meloncat yang tidak menentu,
hingga akhirnya suatu saat gerakan kucing menyentuh tali yang menyebabkan pintu
terbuka.
Setelah percobaan itu diulang-ulang, ternyata tingkah laku kucing untuk keluar dari kandang menjadi semakin efisien. Itu berarti, kucing dapat memilih atau menyeleksi antara respons yang berguna dan yang tidak. Respons yang berhasil untuk membuka pintu, yaitu menyentuh tali akan dibuat pembiasaan, sedangkan respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu menunjukkan adanya hubungan kuat antara stimulus dan respons. Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (Suwardi, 2005: 34-36), sebagai berikut:
Setelah percobaan itu diulang-ulang, ternyata tingkah laku kucing untuk keluar dari kandang menjadi semakin efisien. Itu berarti, kucing dapat memilih atau menyeleksi antara respons yang berguna dan yang tidak. Respons yang berhasil untuk membuka pintu, yaitu menyentuh tali akan dibuat pembiasaan, sedangkan respons lainnya dilupakan. Eksperimen itu menunjukkan adanya hubungan kuat antara stimulus dan respons. Thorndike merumuskan hasil eksperimennya ke dalam tiga hukum dasar (Suwardi, 2005: 34-36), sebagai berikut:
a.
Hukum Kesiapan
(The Law of Readiness)
Hukum ini memberikan keterangan mengenai kesiapan seseorang
merespons (menerima atau menolak) terhadap suatu stimulan. Pertama, bila
seseorang sudah siap melakukan suatu tingkah laku, pelaksanaannya akan memberi
kepuasan baginya sehingga tidak akan melakukan tingkah laku lain. Contoh,
peserta didik yang sudah benar-benar siap menempuh ujian, dia akan puas bila
ujian itu benar-benar dilaksanakan.
Kedua, bila seseorang siap melakukan suatu tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka akan timbul kekecewaan. Akibatnya, ia akan melakukan tingkah laku lain untuk mengurangi kekecewaan. Contoh peserta didik yang sudah belajar tekun untuk ujian, tetapi ujian dibatalkan, ia cenderung melakukan hal lain (misalnya: berbuat gaduh, protes) untuk melampiaskan kekecewaannya. Ketiga, bila seseorang belum siap melakukan suatu perbuatan tetapi dia harus melakukannya, maka ia akan merasa tidak puas. Akibatnya, orang tersebut akan melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut. Contoh, peserta didik tiba-tiba diberi tes tanpa diberi tahu lebih dahulu, mereka pun akan bertingkah untuk menggagalkan tes.
Kedua, bila seseorang siap melakukan suatu tingkah laku tetapi tidak dilaksanakan, maka akan timbul kekecewaan. Akibatnya, ia akan melakukan tingkah laku lain untuk mengurangi kekecewaan. Contoh peserta didik yang sudah belajar tekun untuk ujian, tetapi ujian dibatalkan, ia cenderung melakukan hal lain (misalnya: berbuat gaduh, protes) untuk melampiaskan kekecewaannya. Ketiga, bila seseorang belum siap melakukan suatu perbuatan tetapi dia harus melakukannya, maka ia akan merasa tidak puas. Akibatnya, orang tersebut akan melakukan tingkah laku lain untuk menghalangi terlaksananya tingkah laku tersebut. Contoh, peserta didik tiba-tiba diberi tes tanpa diberi tahu lebih dahulu, mereka pun akan bertingkah untuk menggagalkan tes.
Keempat, bila seseorang belum siap melakukan suatu tingkah laku dan
tetap tidak melakukannya, maka ia akan puas. Contoh, peserta didik akan merasa
lega bila ulangan ditunda, karena dia belum belajar.
b.
Hukum
Latihan (The Law of Exercise)
Hukum ini dibagi menjadi dua, yaitu hukum penggunaan (the law of
use), dan hukum bukan penggunaan (the law of disuse). Hukum penggunaan
menyatakan bahwa dengan latihan berulang-ulang, hubungan stimulus dan respons
akan makin kuat. Sedangkan hukum bukan penggunaan menyatakan bahwa hubungan
antara stimulus dan respons akan semakin melemah jika latihan dihentikan.
Contoh: Bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus berupa pertanyaan "apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia...." maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Makin sering suatu pelajaran diulang, akan semakin banyak yang dikuasainya. Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang, pelajaran semakin sulit untuk dikuasai.
Contoh: Bila peserta didik dalam belajar bahasa Inggris selalu menghafal perbendaharaan kata, maka saat ada stimulus berupa pertanyaan "apa bahasa Inggrisnya kata yang berbahasa Indonesia...." maka peserta didik langsung bisa merespons pertanyaan itu dengan mengingat atau mencari kata yang benar. Sebaliknya, jika tidak pernah menghafal atau mencari, ia tidak akan memberikan respons dengan benar. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan. Makin sering suatu pelajaran diulang, akan semakin banyak yang dikuasainya. Sebaliknya, semakin tidak pernah diulang, pelajaran semakin sulit untuk dikuasai.
c.
Hukum
Akibat (The Law of Effect)
Hubungan stimulus - respons akan semakin kuat, jika akibat yang
ditimbulkan memuaskan. Sebaliknya, hubungan itu akan semakin lemah, jika yang
dihasilkan tidak memuaskan. Maksudnya, suatu perbuatan yang diikuti dengan
akibat yang menyenangkan akan cenderung untuk diulang. Tetapi jika akibatnya
tidak menyenangkan, akan cenderung ditinggalkan atau dihentikan. Hubungan ini
erat kaitannya dengan pemberian hadiah (reward) dan sanksi (punishment). Contoh:
Peserta didik yang biasa menyontek lalu dibiarkan saja atau justru diberi nilai
baik, anak didik itu akan cenderung mengulangnya, sebab ia merasa diuntungkan
dengan kondisi seperti itu. Tetapi, bila ia ditegur atau dipindahkan sehingga
temannya tahu kalau ia menyontek, ia akan merasa malu (merasa tidak diuntungkan
oleh kondisi). Pada kesempatan lain, ia akan berusaha untuk tidak mengulangi
perbuatan itu, sebab ia merasakan ada hal yang tidak menyenangkan baginya.
2. Teori
Classical Conditionins
Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Ivan Petrovich
Pavlov, warga Rusia yang hidup pada tahun 1849-1936. Teorinya adalah tentang
condi¬tioned reflects. Pavlov mengadakan penelitian secara intensif mengenai
kelenjar ludah. Penelitian yang dilakukan Pavlov menggunakan anjing sebagai
objeknya. Anjing diberi stimulus dengan makanan dan isyarat bunyi, dengan
asumsi bahwa suatu ketika anjing akan merespons stimulan berdasarkan kebiasaan.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur sebagai isyarat dia siap makan. Percobaan itu diulang berkali-kali, dan pada akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi bunyi saja tanpa diberi makanan. Hasilnya, anjing tetap mengeluarkan liur dengan anggapan bahwa di balik bunyi itu ada makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar behaviorisme sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi berbagai penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori – teori belajar.
Ketika akan makan, anjing mengeluarkan liur sebagai isyarat dia siap makan. Percobaan itu diulang berkali-kali, dan pada akhirnya percobaan dilakukan dengan memberi bunyi saja tanpa diberi makanan. Hasilnya, anjing tetap mengeluarkan liur dengan anggapan bahwa di balik bunyi itu ada makanan. Lewat penemuannya, Pavlov meletakkan dasar behaviorisme sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi berbagai penelitian mengenai proses belajar dan pengembangan teori – teori belajar.
Prinsip belajar menurut Pavlov adalah sebagai berikut :
a.
Belajar
adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan / mempertautkan antara
perangsang (stimulus) yang lebih kurang dengan perangsang yang lebih lemah.
b.
Proses
belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan lingkungan.
c.
Belajar
adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme/individu.
d.
Setiap
perangsang akan menimbulkan aktivitas otak.
e.
Semua
aktivitas susunan saraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibitasi.
3. Teori
Operant Conditionins
Teori ini dikemukakan oleh Burhus Frederic Skinner. la
membedakan tingkah laku responden, yaitu tingkah laku yang ditimbulkan oleh
stimulus yang jelas. Misalnya, kucing lari ke sana kemari karena melihat
daging. Operant Behavior adalah tingkah laku yang ditimbulkan oleh stimulus
yang belum diketahui, namun semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri,
dan belum tentu dikehendaki oleh stimulus dari luar. Misalnya, kucing lari ke
sana kemari karena kucing itu lapar, bukan karena melihat daging (Sri Rumini,
1993: 75-76). Sesuai dengan dua tingkah laku tersebut, ada dua macam kondisi,
yaitu: Pertama, Respont Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai tipe S,
karena menitikberatkan pada stimulus. Hal ini sama dengan kondisi yang
ditemukan oleh Pavlov. Kedua, Operant Conditioning. Kondisi ini disebut sebagai
tipe R, karena menitikberatkan pada pentingnya respons. Menurut Skinner, ada
dua prinsip umum dalam kondisi ini,
yaitu:
• Setiap respons yang diikuti stimulus yang memperkuat
reward (ganjaran), akan cenderung diulangi.
• Stimulus yang memperkuat reward akan meningkatkan
kecepatan terjadinya respons operant.
Dengan kata
lain, reward akan mengakibatkan diulanginya suatu respons.
Setelah melakukan eksperimen berulang-ulang, Skinner berkesimpulan bahwa mula-mula dalam jangka pendek, baik hukuman maupun hadiah, mempunyai efek mengubah dan menaikkan tingkah laku yang dikehendaki. Namun dalam jangka panjang, hadiah tetap berefek menaikkan, sedangkan hukuman justru tidak berfungsi. Artinya, antara hadiah dan hukuman tidak simetris.
Setelah melakukan eksperimen berulang-ulang, Skinner berkesimpulan bahwa mula-mula dalam jangka pendek, baik hukuman maupun hadiah, mempunyai efek mengubah dan menaikkan tingkah laku yang dikehendaki. Namun dalam jangka panjang, hadiah tetap berefek menaikkan, sedangkan hukuman justru tidak berfungsi. Artinya, antara hadiah dan hukuman tidak simetris.
4. Teori
Gestalt
Max Wertheimer adalah psikolog Jerman yang menjadi tokoh
teori ini. Penemuan teori gestalt bermula ketika Wertheimer melihat cahaya
lampu yang berkedap-kedip saat naik kereta api pada jarak tertentu. Sinar itu
memberinya kesan sebagai sinar yang bergerak datang-pergi dan tidak terputus.
Gestalt berasumsi, bila suatu organisasi dihadapkan pada suatu problem,
kedudukan kognisi tidak seimbang sampai problem itu terpecahkan. Kognisi yang
tidak seimbang mendorong organisme untuk mencari keseimbangan sistem mental.
Menurut gestalt, problem merupakan stimulus sampai didapat suatu pemecahannya.
Organisme atau individu akan selalu berpikir tentang suatu bahan agar dapat
memecahkan masalah yang dihadapinya sebagai bentuk respons dari stimulus yang
berupa masalah tadi. Penerapan teori gestalt tampak pada kurikulum yang
sekarang digunakan di dunia pendidikan. Kurikulum mempunyai pusat yang sama.
Dalam tingkatan rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Hal
pokok diajarkan secara garis besar. Di tingkat yang lebih lanjut, kesatuan itu
diberikan lagi dengan muatan yang lebih detail yang mengarah ke bagian-bagian
yang telah diberikan di tingkat dasar. Begitu secara berkelanjutan di setiap
jenjangnya. Teori Gestalt dengan metode globalnya juga sangat berpengaruh dalam
metode membaca dan menulis. Metode yang resmi digunakan dengan mengacu teori
ini dikenal dengan istilah S.A.S (Struktural, Analitis, dan Sintesis). Metode
ini dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Proses mengajarnya adalah sebagai berikut
:
a.
Pada permulaan
sekali, anak dihadapkan pada cerita pendek yang telah dikenal anak dalam
kehidupan keluarga. Cerita ini jelas merupakan satu kesatuan yang telah dikenal
anak. Karena itu, dengan mudah anak akan segera dapat membaca seluruhnya dengan
menghafal. Biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok
dengan yang diucapkan.
b.
Menguraikan
cerita pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Pendidik secara alamiah
menunjukkan bahwa cerita pendek itu terdiri dari kalimat-kalimat. Antarkalimat
diberi warna yang berbeda, dan antarkalimat diberi jarak yang cukup renggang.
c.
Memisahkan
kalimat-kalimat menjadi kata-kata. Tiap kata ditulis dengan warna yang berbeda,
terpisah, dan ditulis agak berjauhan. Susunan tiap kata ditulis semakin menurun
dan dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata.
d.
Memisahkan
kata menjadi suku kata.
e.
Memisahkan
suku kata menjadi huruf, dan tiap hurufnya ditulis dengan warna yang berbeda.
f.
Setelah
mengenal huruf, peserta didik diajarkan menyusun suku kata; suku kata menjadi;
dan kata menjadi kalimat.
Kebaikan metode ini adalah peserta didik bisa belajar secara
alamiah, sesuai dengan prinsip persepsi gestalt. Pelajaran itu menarik, tidak
menjemukan, karena dimulai dengan cerita dan kalimat-kalimat yang mengandung
arti. Metode ini sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tidak mengganggu,
serta tergantung pada proses persepsinya masing-masing. Peserta didik membaca
dengan memahami isinya dan akhirnya murid lebih cepat menguasai pembacaan yang
sebenarnya.
5. Teori Medan (Field Theory)
Lingkungan dipandang sebagai gejala yang saling
memengaruhi. Teori medan memandang bahwa tingkah laku dan atau proses kognitif
adalah suatu fungsi dari banyak variabel yang muncul secara simultan
(serempak). Perubahan pada diri seseorang bisa mengubah basil keseluruhan.
Kurt Lewin (1890-1947) menjelaskan bahwa tingkah laku manusia dalam suatu waktu ditentukan oleh keseluruhan jumlah fakta psikologis yang dialami dalam waktu tersebut. Menurutnya, fakta psikologis itu merupakan sesuatu yang berpengaruh pada tingkah laku, termasuk marah, ingatan kejadian masa lampau, dan lain-lain. Semua fakta itu menjadi ruang lingkup kehidupan seseorang. Beberapa fakta psikologis akan memberi pengaruh positif atau negatif pada tingkah laku seseorang. Keseluruhan gejala itulah yang akan menentukan tingkah laku seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman yang disadarinya yang akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan menyusun kembali seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laku merupakan perubahan-perubahan kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang dalam suatu pengaruh perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang dimaksud dengan teori medan dalam psikologi (Sri Rumini, 1993: 100-101).
Kurt Lewin (1890-1947) menjelaskan bahwa tingkah laku manusia dalam suatu waktu ditentukan oleh keseluruhan jumlah fakta psikologis yang dialami dalam waktu tersebut. Menurutnya, fakta psikologis itu merupakan sesuatu yang berpengaruh pada tingkah laku, termasuk marah, ingatan kejadian masa lampau, dan lain-lain. Semua fakta itu menjadi ruang lingkup kehidupan seseorang. Beberapa fakta psikologis akan memberi pengaruh positif atau negatif pada tingkah laku seseorang. Keseluruhan gejala itulah yang akan menentukan tingkah laku seseorang dalam suatu waktu. Tetapi, hanya pengalaman yang disadarinya yang akan memberi pengaruh. Perubahan pada fakta psikologis akan menyusun kembali seluruh ruang kehidupan. Jadi, tingkah laku merupakan perubahan-perubahan kontinu dan dinamis. Manusia berada dan berkembang dalam suatu pengaruh perubahan-perubahan medan yang kontinu. Itulah yang dimaksud dengan teori medan dalam psikologi (Sri Rumini, 1993: 100-101).
Teori medan merupakan perkembangan dari teori gestalt.
Berikut penerapan teori medan dalam proses belajar-mengajar :
a.
Belajar
adalah perubahan struktur kognitif (pengetahuan) Orang belajar akan bertambah
pengetahuannya, yang berarti tahu lebih banyak daripada sebelum belajar. Tahu
lebih banyak berarti ruang lingkupnya bertambah luas dan semakin
terdiferensikan. Itu semua berarti seseorang akan banyak memiliki fakta yang
saling berhubungan.
b.
Perenan
hadiah dan hukuman Hadiah dan hukuman merupakan sarana motivasi yang efektif.
Tetapi dalam penggunaannya memerlukan pengawasan. Nilai yang baik bagi peserta
didik pada umumnya merupakan sesuatu hal yang diinginkan (hadiah). Tetapi,
tugas-tugas dalam belajar untuk mencapai nilai tersebut pada umumnya dianggap
sebagai hukuman yang membebani dan kurang menarik.
c.
Masalah
sukses dan gagal Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal
dibanding hadiah dan hukuman.
Karena, apabila tujuan yang akan dicapai bersifat intrinsik, kita
akan lebih tepat mengatakan bahwa suatu tujuan berhasil atau gagal dicapai
daripada mengatakan bahwa suatu tujuan mengandung hadiah dan hukuman.
Pengalaman sukses dapat diperoleh melalui beberapa hal :
1)
Pengalaman
sukses dialami bila seseorang benar-benar mendapatkan apa yang diinginkannya.
Misalnya, seseorang yang ingin lulus dalam suatu program tertentu, kemudian
ternyata memang lulus.
2)
Pengalaman
sukses juga dialami bila seseorang sudah berada di dalam daerah tujuan yang
ingin dicapai. Misalnya, orang dikatakan lulus dalam suatu program bila tinggal
mengulang beberapa mata kuliah saja.
3)
Pengalaman
sukses juga dialami kalau orang telah membuat suatu kemajuan ke arah tujuan
yang akan dicapai. Misalnya, orang merasa berhasil kalau telah mempersiapkan
diri dengan baik dalam menghadapi ujian.
4)
Pengalaman
sukses juga dialami kalau orang telah berbuat dengan cara yang oleh masyarakat
dianggap sebagai cara untuk mencapai tujuan. Misalnya, seseorang merasa sukses
bila pada waktu ujian keluar paling awal. Pengalaman sukses atau gagal bersifat
individual. Kejadian yang sama mungkin dialami sebagai sukses bagi seseorang,
tetapi mungkin tidak demikian bagi orang lain. Contoh, anak yang duduk di kelas
I SD tidak bisa menghitung 25 X 25 adalah wajar. Tetapi jika peserta didik
tidak bisa, ia akan dianggap gagal.
d.
Taraf
Aspirasi Pengalaman sukses dan gagal bersangkutan dengan taraf aspirasi
seseorang. Untuk itu, dalam mencapai sesuatu, setiap orang perlu merumuskan
tujuan meskipun masih bersifat sementara, sehingga ketika ia berada di daerah
tujuan sementara tersebut, ia akan merasa berhasil.
e.
Pengulangan
dapat menimbulkan kejenuhan psikologis. Sebagai penerus dan penyempurna aliran
gestalt, Kurt Lewin berpendapat bahwa yang diperoleh pertama pada saat belajar
adalah pencerahan (insight), sedangkan pengulangan memiliki kedudukan sekunder.
Memang untuk mencapai pencerahan memerlukan pengulangan, tetapi kuantitas
pengulangan bukan yang menentukan insight. Justru ulangan yang terlalu banyak
akan menimbulkan kejenuhan psikologis, yang mengakibatkan terjadinya
diferensiasi (kekaburan). Itu berarti menambah jauhnya belajar dari pemecahan
masalah.
6.
Teori Humanistik
Arthur Combs, Abraham H. Maslow, dan Carl R. Rogers
adalah tiga tokoh utama dalam teori belajar humanistik. Berikut uraian
pandangan mereka. Arthur Combs, seorang humanis, berpendapat bahwa perilaku
batiniah, seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud, menyebabkan
seseorang berbeda dengan orang lain. Untuk memahami orang lain, kita harus
melihat dunia orang lain seperti ia merasa dan berpikir tentang dirinya.
Pendidik dapat memahami perilaku peserta didik jika ia mengetahui bagaimana
peserta didik memersepsikan perbuatannya pada suatu situasi. Apa yang
kelihatannya aneh bagi kita, mungkin saja tidak aneh bagi orang lain. Dalam
proses pembelajaran, menurut para ahli psikologi humanistis, jika peserta didik
memperoleh informasi baru, informasi itu dipersonalisasikan ke dalam dirinya.
Sangatlah keliru jika pendidik beranggapan bahwa peserta didik akan mudah
belajar kalau bahan ajar disusun rapi dan disampaikan dengan baik, karena
peserta didik sendirilah yang menyerap dan mencerna pelajaran itu. Yang menjadi
masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan ajar itu disampaikan, tetapi
bagaimana membantu peserta didik memetik arti dan makna yang terkandung di
dalam bahan ajar itu. Apabila peserta didik dapat mengaitkan bahan ajar dengan
kehidupannya, pendidik boleh berbesar hati karena misinya telah berhasil.
Abraham H. Maslow dikenal sebagai salah satu tokoh psikologi humanistik.
Karyanya di bidang ini berpengaruh dalam upaya memahami motivasi manusia. la menyatakan
bahwa dalam diri manusia terdapat dorongan positif untuk tumbuh sekaligus
ke-kuatan yang menghambat. Suwardi (2005: 54), mengutip pendapat Mas¬low,
mengatakan bahwa ada beberapa kebutuhan yang perlu dipenuhi oleh setiap manusia
yang siratnya hierarkis. Pemenuhan kebutuhan dimulai dari kebutuhan terendah,
selanjutnya meningkat pada kebutuhan yang lebih tinggi.
Kebutuhan tersebut adalah :
a.
Kebutuhan jasmaniah,
b.
Kebutuhan
keamanan,
c.
Kebutuhan kasih saying,
d.
Kebutuhan
harga diri, &
e.
Kebutuhan aktualisasi diri.
Menurut ahli teori ini, hierarki kebutuhan manusia tersebut
mempunyai implikasi penting bagi individu peserta didik. Oleh karenanya,
pendidik harus memerhatikan kebutuhan peserta didik sewaktu beraktivitas di
dalam kelas. Seorang pendidik dituntut memahami kondisi tertentu, misalnya, ada
peserta didik tertentu yang sering tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya, atau
ada yang berbuat gaduh, atau ada yang tidak minat belajar. Menurut Maslow,
minat atau motivasi untuk belajar tidak dapat berkembang jika kebutuhan
pokoknya tidak terpenuhi. Peserta didik yang datang ke sekolah tanpa persiapan,
atau tidak dapat tidur nyenyak, atau membawa persoalan pribadi, cemas atau
takut, akan memiliki daya motivasi yang tidak optimal, sebab persoalan -
persoalan yang dibawanya akan mengganggu kondisi ideal yang dia butuhkan. Carl
R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanis yang gagasan-gagasannya
berpengaruh terhadap pikiran dan praktek pendidikan. la menyarankan adanya
suatu pendekatan yang berupaya menjadikan belajar dan mengajar lebih manusiawi.
Menurut Sri Rumini (1993: 110-112), gagasan itu adalah :
a.
Hasrat untuk belajar Menurut Rogers, manusia
mempunyai hasrat untuk belajar. Hal itu mudah dibuktikan. Perhatikan saja,
betapa ingin tahunya anak kalau sedang mengeksplorasi lingkungannya. Dorongan
ingin tahu dan belajar merupakan asumsi dasar pendidikan humanistis. Di dalam
kelas yang humanistis, peserta didik diberi kebebasan dan kesempatan untuk
memuaskan dorongan ingin tahu dan minatnya terhadap sesuatu yang menurutnya
bisa memuaskan kebutuhannya. Orientasi ini bertentangan dengan gaya lama, di
mana seorang pendidik atau kurikulum mendominasi peta proses pembelajaran.
b.
Belajar
yang berarti Prinsip ini menuntut adanya relevansi antara bahan ajar dengan
kebutuhan yang diinginkan peserta didik. Anak akan belajar jika ada hal yang
berarti baginya. Misalnya, anak cepat belajar menghitung uang receh karena uang
tersebut dapat digunakan untuk membeli barang kesukaannya.
c.
Belajar tanpa ancaman Belajar mudah dilakukan
dan hasilnya dapat disimpan dengan baik apabila berlangsung dalam lingkungan
yang bebas ancaman. Proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar ketika
peserta didik dapat menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-pengalaman
baru, atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa mendapat kecaman yang menyinggung
perasaannya. Jika kenyamanan sudah dia dapatkan, pembelajaran pun akan menjadi
kondusif. Anak tidak merasa tertekan dan pendidik dianggapnya sebagai
fasilitator yang menyenangkan.
d.
Belajar
atas inisiatif sendiri Bagi para humanis, belajar akan sangat bermakna ketika
dilakukan atas inisiatif sendiri. Peserta didik akan mampu memilih arah
belajarnya sendiri, sehingga memiliki kesempatan untuk menimbang dan membuat
keputusan serta menentukan pilihan dan introspeksi diri. Dia akan bergantung
pada dirinya sendiri, sehingga kepercayaan dirinya menjadi lebih baik.
e.
Belajar dan perubahan Prinsip terakhir yang
dikemukakan Rogers adalah bahwa belajar paling bermanfaat adalah belajar
tentang proses belajar. Menurutnya, di waktu lampau peserta didik belajar
mengenal fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis, dan apa yang didapat di
sekolah dirasa sudah cukup untuk kebutuhan saat itu. Tetapi sekarang, tuntutan
mengubah pola pikir yang datang setiap waktu. Apa yang dipelajari di masa lalu
tidak dapat mudah dijadikan pegangan untuk mencapai sukses di masa sekarang
ini. Apa yang dibutuhkan sekarang adalah orang-orang yang mampu belajar di
lingkungan yang sedang berubah dan terus akan berubah. Aliran dan teori pendidikan
ini menjadi warna yang dominan di dunia pendidikan. Meski tidak dianut
seluruhnya, minimal ada aliran yang diikuti dan teori yang digunakan sebagai
upaya pengembangan pendidikan.
C. PILAR – PILAR
PENDIDIKAN
Ada enam pilar pendidikan yang
direkomendasikan UNESCO yang dapat digunakan sebagai prinsip pembelajaran yang
bisa diterapkan di dunia pendidikan.
1.
Learning
to Know Learning to know bukan sebatas mengetahui dan memiliki materi informasi
sebanyak - banyaknya, menyimpan dan mengingat selama-lamanya dengan setepat - tepatnya,
sesuai dengan petunjuk'petunjuk yang telah diberikan, namun juga kemampuan
dalam memahami makna di balik materi ajar yang telah diterimanya. Dengan
learning to know, kemampuan menangkap peluang untuk melakukan pendekatan ilmiah
diharapkan bisa berkembang yang tidak hanya melalui logika empirisme semata,
tetapi juga secara transendental, yaitu kemampuan mengaitkannya dengan nilai -
nilai spiritual.
2.
Learning
to Do Learning to do merupakan konsekuensi dari learning to know. Kelemahan
model pendidikan dan pengajaran yang selama ini berjalan adalah mengajarkan
"omong" (baca: teori), dan kurang menuntun orang untuk
"berbuat" (praktek). Semangat retorika lebih besar dari action. Yang
dimaksud learning to do bukanlah kemampuan berbuat mekanis dan pertukangan
tanpa pemikiran. Dengan demikian, peserta didik akan terus belajar bagaimana
memperbaiki dan menumbuhkembangkan kerja, juga bagaimana mengembangkan teori
atau konsep intelektualitasnya.
3.
Learning
to Be Melengkapi learning to know dan learning to do, Robinson Crussoe
berpendapat bahwa manusia itu hidup sendiri tanpa kerja sama atau saling
tergantung dengan manusia lain. Manusia di era sekarang ini bisa hanyut ditelan
masa jika tidak berpegang teguh pada jati dirinya. Learning to be akan menuntun
peserta didik menjadi ilmuwan sehingga mampu menggali dan menentukan nilai
kehidupannya sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
4.
Learning
to Live Together Learning to live together ini merupakan kelanjutan yang tidak
dapat dielakkan dari ketiga poin di atas. Oleh karena itu, premis ini menuntut
seseorang untuk hidup bermasyarakat dan menjadi educated person yang bermanfaat
baik bagi diri dan masyarakatnya maupun bagi seluruh umat manusia.
5.
Learning
How to Learn Sekolah boleh saja selesai, tetapi belajar tidak boleh berhenti.
Pepatah, "Satu masalah terjawab,
seribu masalah menunggu untuk dijawab", seakan sudab menjadi hal
yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan yang serba modern ini. Oleh karena
itu, Learning How to Leam akan membawa peserta didik pada kemampuan untuk dapat
mengembangkan strategi dan kiat belajar yang lebih independen, kreatif,
inovatif, efektif, efisien, dan penuh percaya diri, karena masyarakat baru
adalah learning society atau knowledge society. Orang - orang yang mampu
menduduki posisi sosial yang tinggi dan penting adalah mereka yang mampu
belajar lebih lanjut. Learning How to Learn memerlukan model pembelajaran baru,
yaitu pergeseran dari model belajar "memilih" (menghafal) menjadi
model belajar "menjadi" (mencari/meneliti). Asumsi yang digunakan
dalam model belajar "memiliki" adalah "pendidik tahu",
peserta didik tidak tahu. Oleh karena itu, pendidik memberi pelajaran, peserta
didik menerima. Yang dipentingkan dalam model belajar "memiliki" ini
adalah penerima pelajaran, yang akan menerima sebanyak - banyaknya, menyimpan selama-lamanya, dan menggunakannya
sesuai dengan aslinya serta menurut instruksi yang telah diberikan. Sebaliknya,
pada proses belajar "menjadi", peserta didik sendiri yang mencari dan
menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dihadapinya, sedang pendidik
dituntut membimbing, memotivasi, memfasilitasi, memprovokasi, dan memersuasi.
6.
Learning
Throughout Learn Perubahan dan perkembangan kehidupan berjalan terus menerus
yang semakin keras dan rumit. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain kecuali
harus belajar terus menerus sepanjang hayat. Learning Throughout Life ini
menuntun dan memberi pencerahan pada peserta didik bahwa ilmu bukanlah hasil
buatan manusia, tetapi merupakan hasil temuan atau hasil pencarian manusia.
Karena ilmu adalah ilmu Tuhan yang tidak terbatas dan harus dicari, maka upaya
mencarinya juga tidak mengenal kata berhenti. Bertolak dari butir-butir
tersebut, gagasan paradigma baru pendidikan Indonesia dalam abad mendatang
adalah: pertama, mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi paradigma
baru. Tinggalkan yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan kondisi terkini.
Kembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan, dan
ciptakan pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan atau tantangan zaman.
Termasuk di sini adalah perubahan pendekatan dalam pendidikan yang sentralistik
dan segregatif, serta mewujudkan pendidikan masa depan dan nasional menuju
terwujudnya suatu masyarakat dunia yang damai. Pendidikan untuk perdamaian
dunia hanya mungkin terwujud di dalam suatu pendidikan yang dimulai di dalam
masyarakat lokal yang berbudaya. Kedua, perlunya perubahan metode penyampaian
materi pendidikan. Metode yang kita gunakan selama ini rasanya terlampau banyak
menekankan penguasaan informasi untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya, kita
hanya mengutamakan manusia yang patuh dan kurang memikirkan terbinanya manusia
kreatif. Ketiga, paradigma pendidikan agama yang eksklusif, dikotomis, dan
parsial harus diubah menjadi pendidikan yang inklusif, integralistik, dan
holistis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar