Oleh Khaerudin Kurniawan
A. Pengajaran Keterampilan
Menulis
Mahasiswa asing yang belajar di Indonesia, di samping mempelajari
ilmunya, ia juga harus belajar bahasa Indonesia. Belajar bahasa Indonesia
berarti ia harus belajar mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis dalam
bahasa Indonesia. Menulis adalah sebuah keterampilan berbahasa yang terpadu,
yang ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut tulisan.
Sekurang-kurangnya, ada tiga komponen yang tergabung dalam perbuatan
menulis, yaitu: (1) penguasaan bahasa
tulis, yang akan berfungsi sebagai media tulisan, meliputi: kosakata,
struktur kalimat, paragraf, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan
topik yang akan ditulis; dan (3) penguasaan
tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan
menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan,
seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya.
Seorang
penutur asing tidak akan mungkin terampil menulis kalau hanya menguasai satu
atau dua komponen saja di antara ketiga komponen tersebut. Betapa banyak
penutur asing yang menguasai bahasa Indonesia secara tertulis tetapi tidak
dapat menghasilkan tulisan karena tidak tahu apa yang akan ditulis dan
bagaimana menuliskannya. Betapa banyak pula penutur asing yang mengetahui
banyak hal untuk ditulis dan tahu pula menggunakan bahasa tulis tetapi tidak
dapat menulis karena tidak tahu caranya. Dalam makalah ini akan dibahas model
pengajaran menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut khususnya
mereka yang belajar berbagai ilmu di Indonesia.
Menulis bukan pekerjaan yang sulit
melainkan juga tidak mudah. Untuk memulai menulis, setiap penulis tidak perlu
menunggu menjadi seorang penulis yang terampil. Belajar teori menulis itu
mudah, tetapi untuk mempraktikkannya tidak cukup sekali dua kali. Frekuensi
latihan menulis akan menjadikan seseorang terampil dalam bidang tulis-menulis.
Tidak ada waktu yang tidak tepat
untuk memulai menulis. Artinya, kapan pun, di mana pun, dan dalam situasi yang
bagaimana pun seorang penutur asing yang belajar di Indonesia dapat
melakukannya. Ketakutan akan kegagalan bukanlah penyebab yang harus
dipertahankan. Itulah salah satu kiat, teknik, dan strategi yang ditawarkan
oleh David Nunan (1991: 86—90) dalam bukunya Language Teaching Methodology. Dia menawarkan suatu konsep
pengembangan keterampilan menulis yang meliputi: (1) perbedaan antara bahasa
lisan dan bahasa tulisan, (2) menulis sebagai suatu proses dan menulis sebagai
suatu produk, (3) struktur generik wacana tulis, (4) perbedaan antara penulis terampil dan
penulis yang tidak terampil, dan (5) penerapan keterampilan menulis dalam
proses pembelajaran.
Pertama,
perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan tampak pada fungsi dan
karakteristik yang dimiliki oleh keduanya. Namun demikian, yang patut
diperhatikan adalah keduanya harus memiliki fungsi komunikasi. Dari sudut
pandang inilah dapat diketahui sejauh mana hubungan antara bahasa lisan dan
bahasa tulis, sehingga dapat diaplikasikan dalam kegiatan komunikasi.
Dalam berkomunikasi sehari-hari,
salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan
maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa tadi, terutama bahasa
Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa
Indonesia secara lebih jauh dan lebih mendalam. Akibatnya, sebagai pemakai
bahasa, orang Indonesia kadang-kadang tidak terampil menggunakan bahasanya
sendiri dibandingkan dengan orang asing yang belajar bahasa Indonesia. Hal ini
merupakan suatu kelemahan yang tidak kita sadari.
Kedua,
pandangan bahwa keterampilan menulis sebagai suatu proses dan menulis
sebagai suatu produk. Pendekatan yang berorientasi pada proses lebih
memfokuskan pada aktivitas belajar (proses menulis); sedangkan pendekatan yang
berorientasi pada produk lebih memfokuskan pada hasil belajar menulis yaitu
wujud tulisan.
Ketiga,
struktur generik wacana dari masing-masing jenis karangan (tulisan) tidak
menunjukkan perbedaan yang mencolok. Hanya saja pada jenis karangan narasi
menunjukkan struktur yang lengkap, yang meliputi orientasi, komplikasi, dan
resolusi. Hal ini menjadi ciri khas jenis karangan/tulisan ini.
Keempat,
untuk menambah wawasan tentang keterampilan menulis, setiap penulis perlu
mengetahui penulis yang terampil dan penulis yang tidak terampil. Tujuannya
adalah agar dapat mengikuti jalan pikiran (penalaran) dari keduanya. Kita dapat
mengetahui kesulitan yang dialami penulis yang tidak terampil (baca: pemula,
awal). Salah satu kesulitan yang dihadapinya adalah ia kurang mampu
mengantisipasi masalah yang ada pada pembaca. Adapun penulis terampil, ia mampu
mengatakan masalah tersebut atau masalah lainnya, yaitu masalah yang berkenaan
dengan proses menulis itu sendiri.
Kelima,
sekurang-kurangnya ada tiga proses menulis yang ditawarkan oleh David Nunan,
yakni: (1) tahap prapenulisan, (2) tahap penulisan, dan (3) tahap perbaikan.
Untuk menerapkan ketiga tahap menulis tersebut diperlukan keterampilan
memadukan antara proses dan produk menulis.
Menulis pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis ini seorang
penulis harus terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata.
Keterampilan menulis digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan,
menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan seperti itu hanya
dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar yang dapat menyusun dan
merangkai jalan pikiran dan mengemukakannya secara tertulis dengan jelas,
lancar, dan komunikatif. Kejelasan ini bergantung pada pikiran, organisasi,
pemakaian dan pemilihan kata, dan struktur kalimat (McCrimmon, 1967: 122).
B. Pendekatan Pengajaran Menulis: Tradisional dan Proses
Pembelajaran menulis dengan
pendekatan tradisional lebih menekankan pada hasil berupa tulisan yang telah
jadi, tidak pada apa yang dikerjakan pembelajar ketika menulis. Pembelajar
berpraktik menulis, mereka tidak mempelajari bagaimana cara menulis yang baik.
Temuan penelitian mengenai menulis menyebabkan bergesernya penekanan
pembelajaran menulis dari hasil (tulisan) ke proses menulis yang terlibat dalam
menghasilkan tulisan. Peran pengajar dalam pembelajaran menulis dengan
pendekatan proses tidak hanya memberikan tugas menulis dan menilai tulisan para
pembelajar, tetapi juga membimbing pembelajar dalam proses menulis (Tompkins,
1990: 69).
Perbedaan antara pendekatan
tradisional dan pendekatan keterampilan proses dalam pembelajaran menulis
bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut sebagaimana dikemukakan
Tompkins (1990: 70) dapat dilihat pada bagan berikut.
Pendekatan
Tradisional dan Keterampilan Proses dalam Menulis
No.
|
Komponen
|
Pendekatan Tradisional
|
Pendekatan Proses
|
1
|
Pilihan Topik
|
Tugas menulis kreatif yang
spesifik diberikan oleh pengajar
|
Pembelajar memilih topik
sendiri, atau topik-topik yang diambil dari bidang studi lain
|
2
|
Pembelajaran
|
Pengajar hanya sedikit
atau tidak memberikan pelajaran.
Pembelajar diharapkan
menulis sebaik-baiknya
|
Pengajar mengajar
pembelajar mengenai proses menulis dan mengenai bentuk-bentuk tulisan
|
3
|
Fokus
|
Berfokus pada tulisan yang
sudah jadi
|
Berfokus pada proses yang
digunakan pembelajar ketika menulis
|
4
|
Rasa Memiliki
|
Pembelajar menulis untuk
pengajar dan kurang merasa memiliki
tulisan sendiri
|
Pembelajar merasa memiliki
tulisan sendiri.
|
5
|
Pembaca
|
Pengajar merupakan pembaca
utama
|
Pembelajar menulis untuk
pembaca yang sesungguhnya
|
6
|
Kerja Sama
|
Hanya sedikit atau tidak
ada kerja sama
|
Pembelajar menulis dengan
bekerja sama dan berbagi tulisan yang dihasilkan masing-masing dengan
teman-teman satu kelompok/kelas
|
7
|
Draft
|
Pembelajar menulis draft
tunggal dan harus memusatkan pada isi sekaligus segi mekanik (ejaan, tanda
baca, tata tulis)
|
Pembelajar menulis draft
kasar (outline) untuk menuangkan
gagasan dan kemudian merevisi dan menyunting draft ini sebelum membuat hasil
akhir
|
8
|
Kesalahan Mekanik
|
Pembelajar dituntut untuk
menghasilkan tulisan yang bebas dari kesalahan
|
Pembelajar mengoreksi
kesalahan sebanyak-banyaknya selama menyunting, tetapi tekanannya lebih besar
pada isi daripada segi mekanik
|
9
|
Peran Pengajar
|
Pengajar memberikan tugas
menulis dan menilainya jika tulisan sudah jadi
|
Pengajar mengajarkan cara
menulis dan memberikan balikan selama pembelajar merevisi dan
mengedit/menyunting
|
10
|
Waktu
|
Pembelajar menyelesaikan
tulisan dalam satu jam pelajaran
|
Pembelajar mungkin
menghabiskan waktu tidak hanya satu jam pelajaran untuk mengerjakan setiap
tugas menulis
|
11
|
Evaluasi
|
Pengajar mengevaluasi
kualitas tulisan setelah tulisan selesai disusun
|
Pengajar memberikan
balikan selama pembelajar menulis, sehingga pembelajar dapat memanfaatkannya
untuk memperbaiki tulisannya. Evaluasi berfokus pada proses dan hasil.
|
Dari kedua pendekatan pengajaran menulis seperti tertera pada bagan
di atas dapat diketahui kelemahan dan keunggulannya. Pada pendekatan
tradisional, pengajar memberikan topik tulisan dan setelah pembelajar
mengerjakan tugas tersebut selama setengah atau tiga per empat jam (satu jam
pelajaran), pengajar mengumpulkan pekerjaan pembelajar untuk dievaluasi. Dengan
model pembelajaran seperti ini biasanya hanya sedikit saja pembelajar yang
dapat menghasilkan tulisan yang baik. Sebagian besar pembelajar biasanya hanya
menghasilkan tulisan yang kurang baik. Pengalaman di lapangan dalam memberikan
proses pembelajaran terhadap penutur asing menunjukkan bahwa kadang-kadang
mereka hanya dapat menghasilkan beberapa kalimat saja. Dalam kondisi semacam
ini pembelajar tidak mempelajari bagaimana cara menulis. Mereka dihadapkan pada
tugas sulit yang harus mereka kerjakan tanpa memperoleh penjelasan mengenai
cara mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
Menyadari terhadap kenyataan yang tidak menguntungkan bagi upaya pengembangan
keterampilan menulis bahasa Indonesia bagi penutur asing tingkat lanjut seperti
digambarkan di atas, seyogianya dapat diterapkan model/pendekatan keterampilan
proses dalam pembelajaran menulis. Untuk itu, terlebih dahulu perlu diketahui
proses kreatif dalam menulis.
C. Proses Kreatif dalam Menulis
Menulis merupakan suatu proses kreatif yang banyak melibatkan cara berpikir divergen (menyebar) daripada konvergen (memusat) (Supriadi, 1997).
Menulis tidak ubahnya dengan melukis. Penulis memiliki banyak gagasan dalam
menuliskannya. Kendatipun secara teknis ada kriteria-kriteria yang dapat
diikutinya, tetapi wujud yang akan dihasilkan itu sangat bergantung pada
kepiawaian penulis dalam mengungkapkan gagasan. Banyak orang mempunyai ide-ide
bagus di benaknya sebagai hasil dari pengamatan, penelitian, diskusi, atau
membaca. Akan tetapi, begitu ide tersebut dilaporkan secara tertulis, laporan
itu terasa amat kering, kurang menggigit, dan membosankan. Fokus tulisannya
tidak jelas, gaya bahasa yang digunakan monoton, pilihan katanya (diksi) kurang
tepat dan tidak mengena sasaran, serta variasi kata dan kalimatnya kering.
Sebagai proses kreatif yang
berlangsung secara kognitif, penyusunan sebuah tulisan memuat empat tahap,
yaitu: (1) tahap persiapan (prapenulisan), (2) tahap inkubasi, (3) tahap
iluminasi, dan (4) tahap verifikasi/evaluasi. Keempat proses ini tidak selalu
disadari oleh para pembelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing. Namun,
jika dilacak lebih jauh lagi, hampir semua proses menulis (esai, opini/artikel,
karya ilmiah, artistik, atau bahkan masalah politik sekali pun) melalui keempat
tahap ini. Harap diingat, bahwa proses kreatif tidak identik dengan proses atau
langkah-langkah mengembangkan laporan tetapi lebih banyak merupakan proses kognitif
atau bernalar.
Pertama,
tahap persiapan atau prapenulisan adalah ketika pembelajar menyiapkan diri,
mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah
informasi, menarik tafsiran dan inferensi terhadap realitas yang dihadapinya,
berdiskusi, membaca, mengamati, dan lain-lain yang memperkaya masukan
kognitifnya yang akan diproses selanjutnya.
Kedua,
tahap inkubasi adalah ketika pembelajar memproses informasi yang dimilikinya
sedemikian rupa, sehingga mengantarkannya pada ditemukannya pemecahan masalah
atau jalan keluar yang dicarinya. Proses inkubasi ini analog dengan ayam yang
mengerami telurnya sampai telur menetas menjadi anak ayam. Proses ini
seringkali terjadi secara tidak disadari, dan memang berlangsung dalam kawasan
bawah sadar (subconscious) yang pada
dasarnya melibatkan proses perluasan pikiran (expanding of the mind). Proses ini dapat berlangsung beberapa detik
sampai bertahun-tahun. Biasanya, ketika seorang penulis melalui proses ini
seakan-akan ia mengalami kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Oleh karena itu, tidak jarang seorang penulis yang tidak sabar mengalami
frustrasi karena tidak menemukan pemecahan atas masalah yang dipikirkannya.
Seakan-akan kita melupakan apa yang ada dalam benak kita. Kita berekreasi
dengan anggota keluarga, melakukan pekerjaan lain, atau hanya duduk termenung.
Kendatipun demikian, sesungguhnya di bawah sadar kita sedang mengalami proses
pengeraman yang menanti saatnya untuk segera “menetas”.
Ketiga,
tahap iluminasi adalah ketika datangnya inspirasi atau insight, yaitu gagasan datang seakan-akan tiba-tiba dan berloncatan
dari pikiran kita. Pada saat ini, apa yang telah lama kita pikirkan menemukan
pemecahan masalah atau jalan keluar. Iluminasi tidak mengenal tempat atau
waktu. Ia bisa datang ketika kita duduk di kursi, sedang mengendarai mobil,
sedang berbelanja di pasar atau di supermarket, sedang makan, sedang mandi, dan
lain-lain.
Jika hal-hal itu terjadi, sebaiknya
gagasan yang muncul dan amat dinantikan itu segera dicatat, jangan dibiarkan
hilang kembali sebab momentum itu biasanya tidak berlangsung lama. Tentu saja
untuk peristiwa tertentu, kita menuliskannya setelah selesai melakukan
pekerjaan. Jangan sampai ketika kita sedang mandi, misalnya, kemudian keluar
hanya untuk menuliskan gagasan. Agar gagasan tidak menguap begitu saja, seorang
pembelajar menulis yang baik selalu menyediakan ballpoint atau pensil dan
kertas di dekatnya, bahkan dalam tasnya ke mana pun ia pergi.
Seringkali orang menganggap
iluminasi ini sebagai ilham. Padahal, sesungguhnya ia telah lama atau pernah
memikirkannya. Secara kognitif, apa yang dikatakan ilham tidak lebih dari
proses berpikir kreatif. Ilham tidak datang dari kevakuman tetapi dari usaha
dan ada masukan sebelumnya terhadap referensi kognitif seseorang.
Keempat,
tahap terakhir yaitu verifikasi, apa yang dituliskan sebagai hasil dari
tahap iluminasi itu diperiksa kembali, diseleksi, dan disusun sesuai dengan
fokus tulisan. Mungkin ada bagian yang tidak perlu dituliskan, atau ada hal-hal
yang perlu ditambahkan, dan lain-lain. Mungkin juga ada bagian yang mengandung
hal-hal yang peka, sehingga perlu dipilih kata-kata atau kalimat yang lebih
sesuai, tanpa menghilangkan esensinya. Jadi, pada tahap ini kita menguji dan
menghadapkan apa yang kita tulis itu dengan realitas sosial, budaya, dan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
D. Proses Pembelajaran Menulis
Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan terhadap tulisan
mahasiswa, Flower dan Hayes (lewat Tompkins, 1990: 71) mengembangkan model
proses dalam menulis. Proses menulis dapat dideskripsikan sebagai proses
pemecahan masalah yang kompleks, yang mengandung tiga elemen, yaitu lingkungan
tugas, memori jangka panjang penulis, dan proses menulis. Pertama, lingkungan tugas adalah tugas yang penulis kerjakan dalam
menulis. Kedua, memori jangka panjang
penulis adalah pengetahuan mengenai topik, pembaca, dan cara menulis. Ketiga, proses menulis meliputi tiga
kegiatan, yaitu: (1) merencanakan (menentukan tujuan untuk mengarahkan
tulisan), (2) mewujudkan (menulis sesuai dengan rencana yang sudah dibuat), dan
(3) merevisi (mengevaluasi dan merevisi tulisan).
Ketiga kegiatan tersebut tidak
merupakan tahap-tahap yang linear, karena penulis terus-menerus memantau
tulisannya dan bergerak maju mundur (Zuchdi, 1997: 6). Peninjauan kembali
tulisan yang telah dihasilkan ini dapat dianggap sebagai komponen keempat dalam
proses menulis. Hal inilah yang membantu penulis dapat mengungkapkan gagasan
secara logis dan sistematis, tidak mengandung bagian-bagian yang kontradiktif.
Dengan kata lain, konsistensi (keajegan) isi gagasan dapat terjaga.
Berkaitan dengan tahap-tahap proses menulis, Tompkins (1990: 73)
menyajikan lima tahap, yaitu: (1) pramenulis, (2) pembuatan draft, (3)
merevisi, (4) menyunting, dan (5) berbagi (sharing).
Tompkins juga menekankan bahwa tahap-tahap menulis ini tidak merupakan
kegiatan yang linear. Proses menulis bersifat nonlinier, artinya merupakan
putaran berulang. Misalnya, setelah selesai menyunting tulisannya, penulis
mungkin ingin meninjau kembali kesesuaiannya dengan kerangka tulisan atau draft
awalnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada setiap tahap itu dapat dirinci
lagi. Dengan demikian, tergambar secara menyeluruh proses menulis, mulai awal
sampai akhir menulis seperti berikut.
1.Tahap Pramenulis
Pada tahap pramenulis, pembelajar
melakukan kegiatan sebagai berikut:
- Menulis topik berdasarkan pengalaman sendiri
- Melakukan kegiatan-kegiatan latihan sebelum menulis
- Mengidentifikasi pembaca tulisan yang akan mereka tulis
- Mengidentifikasi tujuan kegiatan menulis
- Memilih bentuk tulisan yang tepat berdasarkan pembaca dan tujuan yang telah mereka tentukan
2. Tahap Membuat Draft
Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar pada tahap ini adalah
sebagai berikut:
- Membuat draft kasar
- Lebih menekankan isi daripada tata tulis
3. Tahap Merevisi
Yang perlu dilakukan oleh pembelajar
pada tahap merevisi tulisan ini adalah sebagai berikut:
- Berbagi tulisan dengan teman-teman (kelompok)
- Berpartisipasi secara konstruktif dalam diskusi tentang tulisan teman-teman sekelompok atau sekelas
- Mengubah tulisan mereka dengan memperhatikan reaksi dan komentar baik dari pengajar maupun teman
- Membuat perubahan yang substantif pada draft pertama dan draft berikutnya, sehingga menghasilkan draft akhir
4. Tahap Menyunting
Pada tahap menyunting, hal-hal yang
perlu dilakukan oleh pembelajar adalah sebagai berikut:
- Membetulkan kesalahan bahasa tulisan mereka sendiri
- Membantu membetulkan kesalahan bahasa dan tata tulis tulisan mereka sekelas/sekelompok
- Mengoreksi kembali kesalahan-kesalahan tata tulis tulisan mereka sendiri
Dalam kegiatan penyuntingan ini, sekurang-kurangnya ada dua tahap
yang harus dilakukan. Pertama,
penyuntingan tulisan untuk kejelasan penyajian. Kedua, penyuntingan bahasa dalam tulisan agar sesuai dengan
sasarannya (Rifai, 1997: 105—106). Penyuntingan tahap pertama akan berkaitan dengan masalah komunikasi. Tulisan diolah
agar isinya dapat dengan jelas diterima oleh pembaca. Pada tahap ini, sering
kali penyunting harus mereorganisasi tulisan karena penyajiannya dianggap
kurang efektif. Ada kalanya, penyunting terpaksa membuang beberapa paragraf
atau sebaliknya, harus menambahkan beberapa kalimat, bahkan beberapa paragraf
untuk memperlancar hubungan gagasan. Dalam melakukan penyuntingan pada tahap
ini, penyunting sebaiknya berkonsultasi dan berkomunikasi dengan penulis. Pada
tahap ini, penyunting harus luwes dan pandai-pandai menjelaskan perubahan yang
disarankannya kepada penulis karena hal ini sangat peka. Hal-hal yang berkaitan
dengan penyuntingan tahap ini adalah kerangka tulisan, pengembangan tulisan,
penyusunan paragraf, dan kalimat.
Kerangka tulisan merupakan ringkasan sebuah tulisan. Melalui
kerangka tulisan, penyunting dapat melihat gagasan, tujuan, wujud, dan sudut
pandang penulis. Dalam bentuknya yang ringkas itulah, tulisan dapat diteliti,
dianalisis, dan dipertimbangkan secara menyeluruh, dan tidak secara lepas-lepas
(Keraf, 1989: 134). Penyunting dapat memperoleh keutuhan sebuah tulisan dengan
cara mengkaji daftar isi tulisan dan bagian pendahuluan. Jika ada, misalnya,
dalam tulisan ilmiah atau ilmiah populer, sebaiknya bagian simpulan pun dibaca.
Dengan demikian, penyunting akan memperoleh gambaran awal mengenai sebuah
tulisan dan tujuannya. Gambaran itu kemudian diperkuat dengan membaca secara
keseluruhan isi tulisan. Jika tulisan merupakan karya fiksi, misalnya,
penyunting langsung membaca keseluruhan karya tersebut. Pada saat itulah,
biasanya penyunting sudah dapat menandai bagian-bagian yang perlu disesuaikan.
Berdasarkan kerangka tulisan
tersebut dapat diketahui tujuan penulis. Selanjutnya, berdasarkan pengetahuan
atas tujuan penulis, dapat diketahui bentuk tulisan dari sebuah naskah
(tulisan). Pada umumnya, tulisan dapat dikelompokkan atas empat macam bentuk,
yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi.
Bentuk tulisan narasi dipilih jika penulis ingin bercerita kepada pembaca. Narasi
biasanya ditulis berdasarkan rekaan atau imajinasi. Akan tetapi, narasi dapat
juga ditulis berdasarkan pengamatan atau wawancara. Narasi pada umumnya
merupakan himpunan peristiwa yang disusun berdasarkan urutan waktu atau urutan
kejadian. Dalam tulisan narasi, selalu ada tokoh-tokoh yang terlibat dalam
suatu atau berbagai peristiwa.
Bentuk tulisan deskripsi dipilih jika penulis ingin menggambarkan bentuk, sifat,
rasa, corak dari hal yang diamatinya. Deskripsi juga dilakukan untuk melukiskan
perasaan, seperti bahagia, takut, sepi, sedih, dan sebagainya. Penggambaran itu
mengandalkan pancaindera dalam proses penguraiannya. Deskripsi yang baik harus
didasarkan pada pengamatan yang cermat dan penyusunan yang tepat. Tujuan
deskripsi adalah membentuk, melalui ungkapan bahasa, imajinasi pembaca agar
dapat membayangkan suasana, orang, peristiwa, dan agar mereka dapat memahami
suatu sensasi atau emosi. Pada umumnya, deskripsi jarang berdiri sendiri.
Bentuk tulisan tersebut selalu menjadi bagian dalam bentuk tulisan lainnya.
Bentuk tulisan eksposisi dipilih jika penulis ingin memberikan informasi,
penjelasan, keterangan atau pemahaman. Berita merupakan bentuk tulisan
eksposisi karena memberikan informasi. Tulisan dalam majalah juga merupakan
eksposisi. Buku teks merupakan bentuk eksposisi. Pada dasarnya, eksposisi
berusaha menjelaskan suatu prosedur atau proses, memberikan definisi,
menerangkan, menjelaskan, menafsirkan gagasan, menerangkan bagan atau tabel,
mengulas sesuatu.Tulisan eksposisi sering ditemukan bersama-sama dengan bentuk
tulisan deskripsi. Laras yang termasuk dalam bentuk tulisan eksposisi adalah
buku resep, buku-buku pelajaran, buku teks, dan majalah.
Tulisan berbentuk argumentasi bertujuan meyakinkan orang,
membuktikan pendapat atau pendirian pribadi, atau membujuk pembaca agar
pendapat pribadi penulis dapat diterima. Bentuk tulisan tersebut erat kaitannya
dengan eksposisi dan ditunjang oleh deskripsi. Bentuk argumentasi dikembangkan
untuk memberikan penjelasan dan fakta-fakta yang tepat sebagai alasan untuk
menunjang kalimat topik. Kalimat topik, biasanya merupakan sebuah pernyataan
untuk meyakinkan atau membujuk pembaca. Dalam sebuah majalah atau surat kabar,
misalnya, argumentasi ditemui dalam kolom opini/wacana/gagasan/pendapat.
Kendatipun keempat bentuk tulisan
tersebut memiliki ciri masing-masing, mereka tidak secara ketat terpisah satu
sama lain. Dalam sebuah kolom, misalnya, dapat ditemukan berbagai bentuk
tulisan tersebut tersebar di dalam paragraf yang membangun kerangka tersebut.
Oleh karena itu, penyunting berfungsi untuk mempertajam dan memperkuat
pembagian paragraf. Pembagian paragraf terdiri atas paragraf pembuka, paragraf
penghubung atau isi, dan paragraf penutup sering kali tidak diketahui oleh
penulis. Masih sering ditemukan tulisan yang sulit dipahami karena pemisahan
bagian-bagian atau pokok-pokoknya tidak jelas.
Pemeriksaan atas kalimat merupakan
penyuntingan tahap pertama juga. Pada tahap ini pun, sebaiknya penyunting
berkonsultasi dengan penulis. Penyunting harus memiliki pengetahuan bahasa yang
memadai. Dengan demikian, penyunting dapat menjelaskan dengan baik kesalahan
kalimat yang dilakukan oleh penulis. Untuk itu, penyunting harus menguasai
persyaratan yang tercakup dalam kalimat yang efektif. Kalimat yang efektif
adalah kalimat yang secara jitu atau tepat mewakili gagasan atau perasaan
penulis. Untuk dapat membuat kalimat yang efektif, ada tujuh hal yang harus
diperhatikan, yaitu kesatuan gagasan, kepaduan, penalaran, kehematan atau
ekonomisasi bahasa, penekanan, kesejajaran, dan variasi.
Penyuntingan
tahap kedua berkaitan dengan masalah
yang lebih terperinci, lebih khusus. Dalam hal ini, penyunting berhubungan
dengan masalah kaidah bahasa, yang mencakup perbaikan dalam kalimat, pilihan
kata (diksi), tanda baca, dan ejaan. Pada saat penyunting memperbaiki kalimat
dan pilihan kata dalam tulisan, ia dapat berkonsultasi dengan penulis atau
langsung memperbaikinya. Hal ini bergantung pada keluasan permasalahan yang
harus diperbaiki. Sebaliknya, masalah perbaikan dalam tanda baca dan ejaan
dapat langsung dikerjakan oleh penyunting tanpa memberitahukan penulis.
Perbaikan dalam tahap ini bersifat kecil, namun sangat mendasar.
5. Tahap Berbagi
Tahap terakhir dalam proses menulis
adalah berbagi (sharing) atau
publikasi. Pada tahap berbagi ini, pembelajar:
- Mempublikasikan (memajang) tulisan mereka dalam suatu bentuk tulisan yang sesuai, atau
- Berbagi tulisan yang dihasilkan dengan pembaca yang telah mereka tentukan.
Dari tahap-tahap pembelajaran menulis dengan pendekatan/model proses
sebagaimana dijabarkan di atas dapat dipahami betapa banyak dan bervariasi
kegiatan pembelajar dalam proses menulis. Keterlibatannya dalam berbagai kegiatan
tersebut sudah barang tentu merupakan pelajaran yang sangat berharga guna
mengembangkan keterampilan menulis. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh
pembelajar pada setiap tahap, upaya-upaya mengatasi kesulitan tersebut, dan
hasil terbaik yang dicapai oleh para pembelajar membuat mereka lebih tekun dan
tidak mudah menyerah dalam mencapai hasil yang terbaik dalam mengembangkan
keterampilan menulis.
Pembelajaran menulis bagi penutur asing dengan menggunakan
pendekatan keterampilan proses merupakan suatu alternatif untuk mencapai
keterampilan menulis pembelajar secara efektif. Hal ini dimungkinkan karena
diterapkannya proses kreatif dalam
menulis yang diimplementasikan melalui tahap-tahap kegiatan yang dapat
dilakukan pembelajar (pramenulis, membuat draft, merevisi, menyunting, dan
berbagi (sharing). Proses menulis itu
tidak selalu bersifat linear tetapi dapat bersifat nonlinier, dan perlu
disesuaikan dengan berbagai jenis tulisan yang mereka susun.
Daftar Pustaka
Keraf, Gorys.
(1989). Komposisi. Flores: Nusa
Indah.
McCrimmon, James M. (1967). Writing With a Purpose. Boston: Houghton Mifflin Company.
Nunan, David.
(1991). Language Teaching Methodology.
New York: Prentice Hall.
Rifai, Mien A. (1997). Pegangan Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Supriadi,
Dedi. (1997). Isu dan Agenda Pendidikan
Tinggi di Indonesia. Jakarta: PT Rosda Jayaputra.
Tompkins,
Gail E. (1990). Teaching Writing
Balancing Process and Product. New York: Macmillan Publishing Company.
Zuchdi, Darmiyati. (1997). “Pembelajaran Menulis
dengan Pendekatan Proses”, Karya Ilmiah
disajikan dan dibahas pada Senat Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP
Yogyakarta tanggal 15 November 1996 (tidak dipublikasikan). Yogyakarta: IKIP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar